Last week review:

Indeks saham AS mengakhiri minggu perdagangan yang bergejolak berisikan laporan data ketenagakerjaan penting dari AS, membawa yield US Treasury masih bertengger di level tertinggi 16 tahun; di tengah perdebatan sengit antara apakah Federal Reserve masih perlu naikkan suku bunga sekali lagi sebelum tutup tahun 2023 ini. S&P 500 berhasil mematahkan penurunan empat minggu berturut-turut sebelumnya dengan kenaikan mingguan sebesar 0,5%, sementara Dow Jones malah menghapus seluruh profit tahun ini menjadi turun sedikit sebesar 0,3% di pekan lalu. CBOE Volatility index, indeks “ketakutan” WallStreet, sempat menyentuh level tertinggi sejak 24 Mei. Di lain sisi, Nasdaq Composite sukses meningkat 1,6%. Setidaknya ada tiga bintang utama laporan tenaga kerja AS yang jadi sorotan pelaku pasar pekan lalu di mana hasilnya cenderung mixed: dua laporan merilis hasil di atas ekspektasi yaitu Job Openings & Labor Turnover Survey (JOLTs) yang mengukur permintaan tenaga kerja, serta Nonfarm Payroll di hari Jumat yang merilis hasil lumayan jauh di atas perkiraan yaitu terciptanya 336 ribu pekerja baru di sektor pemerintah, dibanding 187 ribu estimasi sebelumnya. Sementara itu, ADP National Employment untuk bulan September malah keluar agak jauh dibawah prediksi dan juga turun tajam dari bulan sebelumnya ke level terendah sejak Januari 2021 (32 bulan yang lalu). Upah per jam (Sept.) naik sama dengan sebesar bulan sebelumnya yaitu 0,2% mom, menandakan kembalinya tingkat pertumbuhan upah seperti sebelum pandemi. Baik sektor pemerintah maupun swasta berperan dalam penciptaan lapangan kerja ini, dengan industri perhotelan dan layanan kesehatan sebagai garda terdepan. Tingkat partisipasi angkatan kerja tetap stabil pada angka tertinggi pascapandemi sebesar 62,8%, mencerminkan permintaan barang dan jasa yang konsisten selama lonjakan PDB pada kuartal ketiga. Di lain pihak, data Initial Jobless Claims mingguan terakhir kembali membuahkan hasil di bawah ekspektasi, di mana hanya ada 207 ribu klaim pengangguran dibanding perkiraan pasar di 210 ribu, namun angka ini tetap meningkat dari minggu sebelumnya di angka 205 ribu. Dengan demikian, Unemployment Rate (Sept.) tampak tak bergeming di level 3.8%.

Dari sudut pandang data ekonomi lainnya: AS merilis data Composite PMI (Sept.) yang hampir mendekati batas wilayah ekspansif (50) yaitu di 49.8, mampu lebihi ekspektasi dan bulan sebelumnya. Pada pekan yang sama, AS laporkan peningkatan Ekspor dan pelemahan Impor di bulan Agustus, sehingga menyebabkan Trade Balance mereka berada pada level defisit yang semakin mengecil pada USD58.3 miliar. Sentimen laporan keuangan kuartal 3 juga mendominasi perhatian para investor, seiring para analis memperkirakan laba perusahaan mampu meningkat 1.6% dari kuartal yang sama tahun lalu, setelah jatuh 2.8% di kuartal kedua tahun ini.

Di pekan yang sarat dengan data PMI global ini, masing-masing benua melaporkan sebagai berikut: Di Asia, Jepang mulai merilis Manufacturing Outlook Index yang alami pertumbuhan signifikan di atas ekspektasi pada kuartal 3, khususnya bagi pabrikan besar ; walau mereka masih berjuang untuk keluar dari wilayah kontraksi. Sedangkan di Eropa, sayangnya PMI Manufaktur Jerman masih belum mampu penuhi ekspektasi, walau sektor Jasa sudah sukses menyebrang ke wilayah ekspansi. Composite PMI Eurozone dan Inggris pun mampu sesuai estimasi; namun yang pasti mereka masih berkutat di wilayah kontraksi. Adapun Eurozone merilis Unemployment Rate pada bulan Agustus di level 6.4% sesuai prediksi, lebih rendah dari bulan Juli di 6.5%. Di sisi lain, Eurozone melaporkan Inflasi di tingkat produsen di bulan Agustus relatif masih deflasi berat pada level – 11.5%, tak jauh dari forecast -11.6%; harga di tingkat produsen ini semakin melunak saja dari -7.6% di bulan sebelumnya. Retail Sales Eurozone di bulan Agustus juga tampak masih kian melemah dengan pertumbuhan daya beli masyarakat minus 2.1% yoy, bahkan lebih buruk dari estimasi dan dari bulan sebelumnya. Jerman mampu mencetak surplus Trade Balance di angka EUR16.6 miliar, lebih baik dari estimasi EUR15 miliar, walaupun di kedua front Ekspor & Impor bulan Agustus tampak drop lebih besar dari perkiraan, namun setidaknya penurunan tersebut sudah lebih melambat dari bulan sebelumnya. Bicara mengenai Construction PMI bulan September: Jerman, Eurozone, dan Inggris masih terbenam semakin dalam di wilayah kontraksi.

INDONESIA: Indonesia mengeluarkan data Nikkei Manufacturing PMI yang ternyata sedikit melambat ke level 52.3 pada bulan September, dibanding 53.9 pada bulan Agustus. Adapun tingkat Inflasi bulan September semakin mendingin ke angka 2.28% YoY dari 3.27% di bulan Agustus, walau secara bulanan pertumbuhannya justru memanas 0.19% MoM dibanding bulan sebelumnya yang deflasi -0.02%. Untuk data Inflasi Inti (data inflasi yang mengecualikan harga komoditas volatile seperti  bahan bakar dan makanan) cukup stabil di bawah level aman Bank Indonesia 3% (menurun ke tingkat 2.0% yoy) dan mampu lebih rendah dari ekspektasi & posisi bulan Agustus di 2.18%. Yang menjadi pemberat indeks belakangan ini adalah nilai tukar Rupiah yang turun drastis dan sempat menyentuh IDR15800/USD; sebuah level yang terakhir terlihat di awal pandemi Maret-April 2020 lalu. USD/IDR ditutup pada level IDR15605/USD pada hari Jumat lalu. Usaha menstabilkan nilai tukar Rupiah ini menggerus posisi Cadangan Devisa (Sept.) menjadi USD134.9 miliar, dari USD137,1 miliar pada bulan sebelumnya.

KOMODITAS: di pertemuan para menteri OPEC+ pada hari Rabu kemarin, ditetapkan keputusan bahwa mereka tidak akan mengubah level produksi; berarti mereka akan pertahankan pemangkasan produksi sampai akhir tahun. Adapun pemangkasan produksi ini dirasakan masih perlu untuk mengimbangi permintaan global yang lemah dan demi kepentingan mendukung harga. Kontrak WTI (New York) untuk bulan November sempat anjlok 7% pada pekan lalu, sedangkan kontrak Minyak Brent (London) untuk bulan teraktif (Desember) sempat terjun 10% di pekan ini. Meningkatnya eskalasi serangan Palestina (Hamas) di Israel juta menimbulkan spekulasi kemungkinan pengaruh terhadap harga minyak global.

This week’s outlook:

Data Inflasi AS dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai jalur suku bunga di masa depan setelah laporan Nonfarm Payroll yang kuat pada hari Jumat, sementara risalah pertemuan terbaru Federal Reserve pada hari Rabu juga akan diteliti dengan cermat. Sementara itu, musim laporan laba kuartal ketiga sedang berlangsung dan harga Energi semakin menjadi fokus perhatian para pelaku pasar karena meletusnya perang Israel – Palestina.

AS akan merilis data CPI & PPI untuk bulan September yang sangat dinantikan di minggu ini karena para investor terus mempertimbangkan “mantra hawkish” suku bunga The Fed yang sedianya akan bertahan tinggi untuk jangka waktu lebih lama. Laporan CPI bulan Agustus menunjukkan kenaikan tercepat dalam 14 bulan seiring melonjaknya harga bensin, meskipun inflasi inti, yang tidak termasuk biaya makanan dan bahan bakar, naik pada laju paling lambat dalam hampir dua tahun. Adapun CPI AS (Sept.) diperkirakan bisa menjinak sedikit ke level 3.6% yoy (dibanding 3.7% bulan sebelumnya). Angka inflasi yang tinggi dapat semakin meyakinkan The Fed bahwa suku bunga harus tetap lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Terdapat peluang 73% The Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunga stabil pada FOMC Meeting bulan 31 Oct – 1 Nov, seperti dilansir dari Fed Rate Monitor Tool milik Investing.com. Bank sentral AS akan mempublikasikan risalah pertemuan bulan September pada hari Rabu dengan pengamat pasar mencari petunjuk apakah para pengambil kebijakan condong ke arah kenaikan suku bunga sebelum akhir tahun. Para investor juga akan mendapatkan kesempatan untuk mendengar komentar dari beberapa pejabat Fed selama minggu ini.

Musim laporan keuangan kuartal ketiga dimulai dengan adanya laporan dari beberapa bank besar di mana para investor Wall Street sangat mengharapkan katalis positif untuk menggairahkan kembali pasar saham yang tertekan di tengah melonjaknya imbal hasil obligasi. Musim laporan laba perusahaan dapat menentukan arah pergerakan pasar ekuitas jangka pendek, dengan S&P 500 masih mempertahankan kenaikan sebesar 10% untuk tahun ini bahkan setelah penurunannya baru-baru ini. Pekan lalu harga minyak mencatat penurunan mingguan tertajam sejak bulan Maret, setelah pencabutan sebagian larangan ekspor bahan bakar Rusia menambah kekhawatiran permintaan akibat hambatan makroekonomi. Pada hari Jumat, Brent berjangka ditutup naik 51 sen menjadi USD84.58 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS rebound 48 sen menjadi USD82.79. Untuk pekan lalu, Brent mencatat penurunan sekitar 11% dan WTI mencatat penurunan lebih dari 8%, di tengah kekhawatiran bahwa suku bunga yang tinggi akan memperlambat pertumbuhan global dan memukul permintaan bahan bakar, bahkan jika pasokan tertekan oleh Arab Saudi dan Rusia, yang mengatakan mereka akan melanjutkan pengurangan pasokan hingga akhir tahun. Meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah dapat berdampak pada harga minyak di pekan ini.

Pejabat keuangan global dan gubernur bank sentral sedang menuju ke kota Marrakesh di Maroko untuk menghadiri rapat tahunan IMF & World Bank. Pertemuan tersebut diadakan di tengah kekhawatiran mengenai apakah inflasi dapat dikendalikan kembali tanpa membawa negara-negara besar ke dalam krisis.

MARKET EROPA: Sama dengan AS, Jerman akan merilis angka CPI & PPI (Sept.), sementara Inggris akan luncurkan angka GDP (Agus.). INDONESIA: akan merilis Consumer Confidence (Sept.), angka Retail Sales, serta Penjualan Mobil & Sepeda Motor (Sept.).

Download full report HERE.