Last week review:
Federal Reserve AS mempertahankan suku bunga tidak berubah di level saat ini 5.25%-5.50% (sesuai ekspektasi pasar) dalam dua meeting berturut-turut, dan komentar dari pejabat tinggi bank sentral memicu optimisme para investor bahwa trend naik suku bunga telah mendekati akhirnya, meskipun bank sentral juga masih membuka kemungkinan untuk kenaikan lebih lanjut apalagi setelah beberapa indikator terbaru menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi berkembang dengan kecepatan yang kuat pada kuartal ketiga. Fed Chairman Jerome Powell mengatakan bahwa ke depannya para pembuat kebijakan akan mengambil keputusan dengan sangat hati hati, meskipun mereka belum yakin kebijakan moneter saat ini cukup ketat untuk mencapai Target Inflasi serendah yang diinginkan bank sentral yaitu di level 2%. Saat ini data ekonomi yang keluar lebih buruk dari perkiraan akan memberikan kelegaan kepada para pelaku pasar secara ini menjadi acuan bahwa Federal Reserve tidak perlu lagi untuk menaikkan suku bunga ke depannya, serta situasi soft landing telah tercapai bagi ekonomi AS. Dengan demikian harapan terjadinya pivot atau pemotongan suku bunga di tahun 2024 akan menjadi lebih feasible. Adapun data ketenagakerjaan yang mendukung pertimbangan tersebut adalah: Indeks Keyakinan Konsumen AS jatuh untuk tiga bulan berturut-turut pada bulan Oktober. US ADP Nonfarm Payroll bulan Oktober menyatakan tercipta lapangan kerja di sektor swasta sebesar 113 ribu, lebih rendah dari perkiraan 150 ribu. Namun, sebagai tanda bahwa permintaan tenaga kerja tetap sehat, lowongan pekerjaan JOLTS Job Opening di bulan September melampaui perkiraan para ekonom dengan muncul di angka 9,553 juta, di atas forecast maupun bulan sebelumnya. Di sisi lain, klaim pengangguran mingguan atau Initial Jobless Claims naik ke angka 217 ribu, di atas perkiraan & dari minggu sebelumnya. Sebagai penutup, Nonfarm Payroll mencatat adanya penambahan pegawai baru di sektor publik sebesar 150 ribu pada bulan Oktober, lebih rendah dari forecast 180 ribu & posisi bulan September 297 ribu. Unemployment Rate akhirnya meningkat ke level 3.9%, dari 3.8% yang sudah bertahta selama dua bulan berturut-turut sebelumnya. Sementara itu, Upah rata-rata per jam hanya tumbuh 0.2% mom, turun dari forecast & previous 0.3%. Tak ayal lagi, serangkaian data di atas berhasil membuat Dow Jones dkk menutup pekan lalu dengan kenaikan mingguan terbesar tahun ini. DJIA naik 5.1% sepekan terakhir, mencatatkan kenaikan mingguan terbaik sejak Oktober 2022; S&P 500 menyusul dengan prestasi 5.9% dan Nasdaq menjadi juara dengan peningkatan 6.6% di minggu lalu. Turunnya yield US Treasury juga turut memberikan angin segar bagi pasar saham; imbal hasil US Treasury tenor 2 tahun, yang paling sensitif terhadap kebijakan The Fed, drop ke level terendah sejak September. Laporan kinerja kuartalan perusahaan yang cemerlang turut menyumbangkan sentimen positif. Wall Street memperkirakan laba kuartal 4 akan mampu tumbuh 7.2%, lebih rendah dari perkiraan awal bulan Oktober di 11%. Sejauh ini, 80.9% perusahaan telah melaporkan kinerja kuartal 3 di atas ekspektasi analis, sementara 14.9% meleset dari estimasi; seperti dilansir dari pusat data LSEG.
MARKET EROPA: Pasar saham Eropa mencatat kinerja bulanan terburuk sejak September 2022 di bulan Oktober kemarin. Perlambatan ekonomi masih mendominasi kisah benua ini, walau perjuangan mereka menjinakkan Inflasi terbukti berhasil. Inflasi Eurozone turun ke level terendah dalam dua tahun terakhir yaitu di 2,9% yoy di bulan Oktober. GDP 3Q23 Zona Euro semakin drop ke level 0.1% yoy, lebih rendah dari forecast maupun kuartal sebelumnya. Suasana perlambatan ekonomi ini juga terasa di Jerman di mana tercermin pada angka Retail Sales (Sept.) yang juga dirilis lebih lemah dari perkiraan. Hal ini menjustifikasi GDP kuartal 3 Jerman di mana ekonomi negara terbesar di Eropa tersebut kembali masuk ke wilayah resesi dengan pertumbuhan minus 0.3% yoy, sementara Inflasi di bulan Oktober sepertinya berhasil melandai ke level 3.8% yoy. German Manufacturing PMI masih bergumul di wilayah kontraksi walau laju perlambatannya mulai melunak. Unemployment Change mereka pun meningkat lebih dari 2x lipat di bulan Oktober. Kondisi yang sama pun dialami oleh Eurozone yang melaporkan Manufacturing PMI (Okt.) yang sesuai ekspektasi belum bisa keluar dari wilayah kontraksi. Bank of England kembali menetapkan suku bunga tak berubah di posisi 5.25%, merupakan kali kedua mereka tidak menaikkan suku bunga sejak memulai trend naiknya pada Desember 2021.
MARKET ASIA: Aktivitas manufaktur China secara tidak terduga masuk wilayah kontraksi di bulan Oktober, menandai kontraksi pertama sejak bulan Juli; menyebabkan Composite PMI (Okt.) turun menghampiri batas area ekspansi 50. Bank of Japan masih mempertahankan suku bunga pinjaman jangka pendeknya tidak berubah di kebijakan super longgar. Korea Selatan secara tak terduga umumkan surplus Trade Balance bulan Oktober di angka KRW 1.64 miliar, jauh lebih baik daripada dugaan defisit sebelumnya. Adapun CPI (Okt.) negeri K-Pop ini muncul di angka 3.8% yoy, menguat dari forecast maupun bulan sebelumnya. Di satu sisi, Manufacturing PMI Korea Selatan sama-sama masih berjuang dengan Jepang untuk keluar dari wilayah kontraksi (<50). INDONESIA turut kompak merilis S&P Global Manufacturing PMI yang melemah menjadi 51.5 pada bulan Oktober dari 52.3 pada September. Ini merupakan ekspansi aktivitas pabrik selama 26 bulan berturut-turut, namun lajunya paling lambat sejak bulan Februari, di tengah lesunya pertumbuhan pesanan baru dan penurunan penjualan ekspor, sementara pertumbuhan output termasuk paling rendah dalam 4 bulan. Adapun Inflasi kita di bulan Oktober sedikit memanas menjadi 2.56% yoy (.0.17% mom) dari level terendah 19 bulan di bulan September sebesar 2.28%, sedikit lebih rendah dibanding dengan konsensus pasar 2.6%; serta tetap berada dalam target bank sentral sebesar 2-4% selama enam bulan berturut-turut. Nilai tukar Rupiah yang sempat terbenam mendekati level IDR16.000/USD yang merupakan titik terlemah dalam 3,5 tahun terakhir sempat membuat aura market menjadi sangat suram dan membuat IHSG menghampiri level terendah di akhir bulan Juni lalu. Tak heran IHSG menutup perdagangan Oktober dengan anjlok -2.94% dan asing meninggalkan pasar saham Indonesia dengan posisi Net Sell (all market) sebesar IDR 7.23 triliun (satu bulan) dan minus IDR 11.95 triliun (YTD). Adapun selama sepekan terakhir Foreign Net Sell tercatat IDR 2.84 triliun (all market).
KOMODITAS: Harga Minyak mentah global mencatat kerugian mingguan kedua berturut-turut karena kekhawatiran mengenai gangguan pasokan di Timur Tengah telah berkurang, menutupi katalis pelemahan Dollar menyusul laporan tenaga kerja bulanan AS yang melemah; dengan demikian memukul WTI drop 4% dan Brent anjlok 6%. Sementara itu, berita kejutan bahwa Manufaktur China terkontraksi di bulan Oktober turut memberi sentimen negatif pada komoditas energi ini.
This week’s outlook:
Data Trade Balance yang mencerminkan pertumbuhan Ekspor & Impor akan menjadi sorotan beberapa negara pada pekan ini, seperti AS, China, dan Inggris. Tak lupa data tenaga kerja favorit tiap minggu yaitu US Initial jobless Claims yang akan selalu ditunggu para pelaku pasar setiap hari Kamis. Federal Reserve Chairman Jerome Powell sepertinya akan memberikan sepatah dua patah kata di pekan ini mengenai ke mana arah kebijakan moneter ke depannya, terlebih setelah data tenaga kerja yang lemah pekan lalu menumbuhkan harapan bahwa The Fed semakin tak perlu menaikkan suku bunga pada FOMC Meeting Desember nanti.
MARKET ASIA: au Jibun Bank Japan Services PMI (Okt.) berusaha stay di wilayah ekspansif yang sama dengan bulan lalu. Trade Balance China (Okt.) harusnya makin surplus dengan laju perlambatan Ekspor & Impor yang makin berkurang. Chinese CPI (Okt.) akan sangat menentukan apakah perbaikan ekonomi mereka di jalur yang bertumbuh sehat, juga akan terlihat apakah angka Inflasi mereka mampu bertumbuh dari perbatasan 0% yoy ssaat ini.
INDONESIA: akan segera rilis GDP 3Q23 mengawali Senin pagi di mana pertumbuhan diramal tetap di atas 5.0% yoy walau sedikit turun dari kuartal 2 pada 5.17%. Pertanyaan kedua, di mana posisi Cadangan Devisa Indonesia (Okt.) setelah usaha menstabilkan nilai tukar Rupiah, akankah semakin tergerus dari posisi IDR 134.9 miliar di bulan September?
MARKET EROPA: German Factory Orders (Sept.) dikhawatirkan kontraksi 1.1% mom daripada pertumbuhan positif 3.9% bulan sebelumnya. Bagaimana Composite PMI Jerman, Inggris, & Eurozone keluar dari wilayah kontraksi, nampaknya perjalanan masih cukup jauh. German CPI (Okt.) akan jadi sorotan secara negara ekonomi terbesar di Eropa ini akan berusaha menjinakkan level saat ini 3.8% yoy. Inggris punya sejumlah data yang sedianya rilis hari Jumat: GDP 3Q23 & bulan September, Industrial Production & Manufacturing Production (Sept.), dan Trade Balance (Sept.).
Download full report HERE.