Last week review:

Sejumlah data ketenagakerjaan AS jadi fokus perhatian para pelaku pasar di pekan lalu. Job Openings & Labor Turnover Survey (JOLTs) yang mengukur permintaan tenaga kerja, muncul di angka 8.8 juta pada bulan Juli, di bawah ekspektasi 9.46 juta. Adapun angka JOLTs dari Departemen Ketenagakerjaan AS ini telah jatuh selama 3 bulan berturut-turut, memberi sinyal bahwa tekanan pada pasar tenaga kerja mulai memudar. ADP National Employment report menunjukkan adanya penambahan tenaga kerja baru di sektor swasta sebesar 177 ribu pada bulan Agustus, meleset dari prediksi 195 ribu, dan jelas lebih rendah dari bulan Juli di angka 371 ribu. Bicara mengenai data tenaga kerja ketiga yaitu US Nonfarm Payrolls, perekonomian AS menciptakan 187.000 lapangan kerja pada bulan Agustus, naik dari 157.000 pada bulan sebelumnya, mengalahkan perkiraan para ekonom sebesar 170.000. Penghasilan rata-rata per jam melambat menjadi 0.2% pada bulan Agustus dari posisi sebelumnya 0.4%, lebih lambat dari perkiraan para ekonom sebesar 0.3% karena peningkatan pasokan tenaga kerja (atau tingkat partisipasi); di saat yang sama mendorong Unemployment Rate (Agus.) secara tak terduga lebih tinggi menjadi 3.8% dari 3.5% di bulan Juli. Conference Board (CB) US Consumer Confidence juga jatuh ke posisi 106.1 di bulan Agustus dari 114 pada Juli, meleset cukup jauh dari perkiraan ekonom pada pembacaan 116.

Departemen Perdagangan AS melaporkan Personal Consumption Expenditures (PCE) price index, yang merupakan acuan Inflasi favorit dari Federal Reserve, naik 3.3% yoy pada bulan Juli, sesuai dengan ekspektasi. Sementara Core PCE price index (yang mengecualikan harga makanan & energi yang volatile) juga naik sesuai prediksi pada tingkat 4.2% yoy di bulan yg sama. Namun di sisi lain, Consumer Spending naik 0.8% mom di bulan Juli, merupakan pertumbuhan tercepat dalam 6 bulan dan menyiratkan daya beli konsumen yang resilien. Harapan para investor/trader bahwa The Fed akan menahan suku bunga pada rapat bulan September mendatang tetap di tingkat probabilitas 93%, seperti diketahui dari CME Group FedWatch tool. Para investor percaya bahwa The Fed akan selalu mengacu kepada data ekonomi dalam menentukan keputusan terkait suku bunga ini. Sementara data yang telah dirilis cukup sesuai dengan ekspektasi pasar, dengan demikian sejalan dengan tujuan tren kenaikan suku bunga yang telah dilakukan sejak 2022 lalu. Melengkapi semua itu, data GDP 2Q23 AS juga direvisi menjadi 2.1% yoy, lebih lambat daripada perkiraan awal di sekitar 2.4%. Adapun bursa saham AS menutup bulan Agustus dengan total penurunan bulanan 1.8% untuk S&P500, 2.4% untuk Dow, dan Nasdaq 2.2%. US Treasury yield tenor 10-tahun otomatis bereaksi dengan melandai ke level 4.09% dan memberikan kesempatan bagi saham-saham megacap sektor Teknologi untuk naik panggung. Perusahaan bank raksasa UBS cukup percaya diri dengan kemampuan S&P500 mencapai level 4700 pada Juni 2024, dibanding dengan target akhir tahun 2023 ini di sekitar angka 4500. Menurut UBS, pertumbuhan saham di 2024 bisa lebih tinggi seiring membaiknya laba dan market mulai mengantisipasi prospek pemotongan suku bunga oleh The Fed apabila Inflasi terus bergerak ke arah target level 2% yang diinginkan bank sentral AS. UBS juga menambahkan, tidak tertutup kemungkinan prospek yang lebih baik bahwa S&P500 akan mampu mencapai 5200, apabila artificial intelligence (AI) terbukti memang mampu mainkan peranan yang vital di tahun depan.

Bagaimana dengan benua Asia & Eropa? Pandangan Consumer Confidence di Jepang, Jerman, Perancis, dan Zona Euro masih relatif di area pesimis dalam melihat outlook dunia usaha ke depannya. Jerman laporkan Retail Sales di bulan Juli anjlok secara bulanan dan tahunan, tak mampu penuhi ekspektasi dan jelas tunjukkan trend turun dibanding bulan sebelumnya. Sementara tingkat pengangguran dari negara ekonomi terbesar Eropa ini tercatat pada level 5.7% di bulan Agustus, sesuai ekspektasi bahwa level tersebut membesar dari bulan sebelumnya di 5.6%. Sebanyak 18 ribu pengangguran baru muncul di bulan Agustus, jauh lebih tinggi dari hanya 1000 di bulan sebelumnya. Zona Euro memberi perkiraan awal pada tingkat Inflasi bulan Agustus pada 5.3% yoy, di atas ekspektasi 5.1%; mereka juga merilis Unemployment Rate di bulan Juli yang tak beranjak dari posisi 6.4%. Bahkan Jepang merilis Unemployment Rate mereka membesar ke level 2.7% di bulan Juli, dari 2.5% di bulan sebelumnya. Korea Selatan merilis sejumlah data ekonomi yang terjerumus ke zona pertumbuhan negatif di antaranya adalah: Industrial Production dan Retail Sales keduanya untuk bulan Juli; untungnya masih ada sektor Jasa yang merilis angka positif sebagaimana terlapor pada Service Sector Output (Juli) yang mengalahkan ekspektasi stagnan di 0% dengan ternyata tumbuh sebesar 0.4%. Sementara itu, Industrial Production Jepang pun tumbuh negatif sebesar minus 2.0% mom di bulan Juli; jelas anjlok dibanding bulan sebelumnya yang masih catatkan pertumbuhan positif 2.4%. Di satu sisi, Retail Sales Jepang untuk bulan Juli tampak lebih bersemangat dengan naik ke level 6.8% (di atas perkiraan & bulan sebelumnya).

China mencoba segala cara demi menggairahkan pasar sahamnya. Saham-saham perusahaan China yang melantai di bursa Wall Street menikmati rally di atas 2% secara China memangkas ongkos materai trading saham (selainnya memperlunak persyaratan margin) efektif Senin lalu. China merilis data Manufacturing PMI (Agus.) yang terlihat semakin bersemangat di angka 49.7, walau belum juga menyebrang ke wilayah ekspansif namun pembacaan tersebut telah lampaui ekspektasi & \ posisi bulan lalu di 49.3. Sayangnya Non-Manufacturing PMI China mundur ke level 51.0 (meleset dari ekspektasi dan lebih rendah dari bulan sebelumnya); membawa Chinese Composite PMI cukup naik 0.2 poin saja ke level 51.3 di bulan Agustus. Walau terkesan mini, pertumbuhan Manufacturing PMI turut menambah sentimen positif pada harga komoditas energi, dengan asumsi demand dari China akan segera picking up. Harga minyak mentah WTI sukses melonjak 7% pada pekan lalu, ditutup di harga USD 86.5/barrel, awalnya sebagai reaksi terhadap anjloknya persediaan minyak AS selama tiga minggu berturutturut dan ekspektasi bahwa pengurangan produksi Saudi sebesar satu juta barel per hari akan memasuki bulan keempat di bulan Oktober. Badan tropis Idalia di Florida turut menambah dorongan naik kepada harga minyak West Texas Intermediate (WTI) karena terganggunya proses produksi. Bicara mengenai komoditas lain, Emas mendekat harga tertinggi 1 bulan pada Jumat lalu, mengkonsolidasi kenaikan mingguan sebesar 1% setelah US merilis sejumlah data tenaga kerja untuk bulan Agustus itu; di mana Unemployment Rate naik menyentuh titik tertinggi 18 bulan, menyiratkan The Fed mungkin tidak perlu lagi naikkan suku bunga lebih lanjut (di mana mereka masih punya 3 kesempatan di sisa tahun ini pada FOMC Meeting yang terjadwal 20 September, 1 November, dan 13 Desember).

Dari dalam negeri sendiri, Indonesia publikasikan tingkat Inflasi Agustus di level 3.27%, di bawah prediksi 3.33%, namun memang lebih tinggi dari bulan sebelumnya di 3.08%. Sementara itu, Indonesia tak punya masalah dengan tingkat Manufacturing PMI (Agus.) yang terbukti berhasil semakin ekspansif di angka 53.9. Adapun investasi asing di pasar saham Indonesia berada di posisi Net Buy sebesar IDR 12.43 triliun sejak awal tahun, walau posisi bulanan ternyata mereka jual bersih sebanyak IDR 1.14 triliun. Nilai tukar Rupiah berhasil menutup pekan lalu di level terkuat hampir 2 bulan pada harga IDR15,235/USD, dan masih ada potensi USD/IDR lanjutkan konsolidasi sampai sekitar IDR15,180.

This week’s outlook:

Setelah laporan tenaga kerja AS hari Jumat lalu semakin memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve akan bisa menahan suku bunga tetap di tempatnya pada FOMC Meeting bulan ini, kalender ekonomi akan lebih ringan seiring pekan perdagangan yang lebih pendek disebabkan adanya libur di AS. Adapun di Indonesia, bulan September dibuka dengan datangnya sejumlah delegasi KTT ASEAN ke Jakarta yang akan mengisi kegiatan utama pada tanggal 4-7 September ini. Saham saham memasuki bulan September setelah mencatatkan kenaikan mingguan yang kuat pada minggu lalu, bahkan IHSG sendiri sempat menjajal posisi 7000 untuk pertama kalinya di tahun ini. Data dari China mungkin akan menambah kekhawatiran terhadap prospek ekonomi nomor dua dunia tersebut ; sementara di sudut komoditas kekhawatiran atas pasokan tampaknya akan masih mendukung harga minyak.

Pada hari Rabu, Institute for Supply Management akan merilis data aktivitas sektor jasa bulan Agustus, dengan para ekonom memperkirakan data tersebut akan sedikit melemah. Pada hari yang sama The Fed akan menerbitkan Beige Book, sebuah survei aktivitas ekonomi di 12 distrik bank tersebut. Investor juga akan mendapatkan kesempatan untuk mendengar dari beberapa pembicara Fed selama pekan ini. Para investor sekarang melihat peluang 94% bank sentral AS akan mempertahankan suku bunga tetap di level 5.25%-5.5% pada pertemuan 19-20 September, menurut Fed rate monitor tool dari Investing.com.

Data ekonomi China pada minggu ini kemungkinan besar mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini masih rapuh di tengah lemahnya permintaan di pasar ekspor utama dan semakin parahnya krisis properti dalam negeri yang menambah tekanan terhadap pertumbuhan. Caixin services PMI untuk bulan Agustus akan dirilis pada hari Selasa dan diperkirakan menunjukkan ekspansi di sektor jasa sedikit melambat pada bulan lalu. Data perdagangan pada hari Kamis diramalkan menunjukkan ekspor dan impor mengalami kontraksi lagi pada bulan Agustus secara yoy, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan bulan Juli. Pengamat pasar juga akan mengamati data CPI bulan Agustus pada hari Sabtu dengan harga konsumen diperkirakan akan meningkat setelah tergelincir ke wilayah deflasi pada bulan Juli. Pihak berwenang Tiongkok telah meluncurkan serangkaian langkah kebijakan yang bertujuan untuk menghidupkan kembali perekonomian yang melemah, namun banyak analis melihat hanya ada sedikit peluang untuk stimulus yang lebih drastis di tengah kekhawatiran atas meningkatnya risiko utang.

Harga minyak melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari tujuh bulan pada hari Jumat, menghentikan laju penurunan dua minggu di tengah kekhawatiran atas ketatnya prospek pasokan. Untuk pekan lalu, Brent naik sekitar 4,8%, kenaikan terbesar dalam seminggu sejak akhir Juli. Minyak Mentah WTI menguat sebesar 7,2%, merupakan lonjakan mingguan terbesar sejak Maret. Arab Saudi diperkirakan akan memperpanjang pengurangan produksi minyak secara sukarela sebesar 1 juta barel per hari hingga bulan Oktober, memperpanjang pembatasan pasokan yang dirancang oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang secara kolektif dikenal sebagai OPEC+, untuk mendukung harga. Prospek permintaan di AS tetap kuat, sementara persediaan minyak mentah komersial menurun dalam lima dari enam minggu terakhir menurut data dari Badan Informasi Energi AS.

Download full report HERE.