Last week review:

Pidato Chairman Federal Reserve Jerome Powell yang masih bernada hawkish pada simposium Jackson Hole – Wyoming mengkonklusi fokus para investor pada pekan lalu. Powell mengatakan kebijakan moneter ketat diperlukan untuk mencapai target inflasi di level 2%, yang dalam prosesnya memang sudah diperkirakan akan membawa turun pertumbuhan ekonomi dan melemahnya pasar tenaga kerja. Otomatis pernyataan tersebut mendorong naik yield US Treasury dalam antisipasi masih akan berlanjutnya trend suku bunga tinggi. US Treasury yield 2-tahun ditutup di titik tertinggi 5.12%; sementara yield US Treasury tenor 10-tahun malah telah menyentuh titik tertinggi setara zaman Krisis Finansial Terbesar 2007 lalu. Sementara banyak negara menaikkan suku bunga, China malah memotong suku bunga acuan untuk kedua kalinya dalam 3 bulan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonominya pasca COVID. Peoples Bank of China (PBOC) turunkan suku bunga pinjaman tenor 1-tahun (jangka pendek) menjadi 3.45% dari 3.55%; dan pertahankan suku bunga kredit tenor 5- tahun tetap di tempat 4.2%.

Perlambatan ekonomi memang nyata terlihat pada rilis sejumlah data ekonomi, contohnya AS yang laporkan Existing Home Sales (Juli) yang lebih rendah dari ekspektasi, sebesar 4.07 juta unit (vs bulan sebelumnya 4.16 juta unit). Data ekonomi juga menunjukkan aktivitas bisnis melemah di wilayah AS & Euro Zone serta beberapa negara besar di Eropa lainnya seperti Perancis, Jerman, dan Inggris; seperti digambarkan data Composite PMI mereka yang tampak stagnan di bulan Agustus atau malah kontraksi semakin membesar. Jerman laporkan PPI (Juli) di tingkat deflasi di atas perkiraan pada minus 6% yoy. Namun di satu sisi, Zona Euro umumkan Current Account (Juni) yang berhasil catatkan surplus masif EUR 35.8 miliar, sangat kontras dengan perkiraan defisit maupun hasil bulan sebelumnya di EUR 7.9 miliar. Melandainya inflasi di Inggris juga membuat keyakinan konsumen di sana membaik, setidaknya data Gfk Consumer Confidence untuk bulan Agustus tidak jatuh sedalam yang diperkirakan pada -29, melainkan berhasil dirilis pada -25 saja, suatu langkah yang sudah lebih optimis dari bulan sebelumnya pada -30. German GDP 2Q23 belum mampu beranjak dari zona resesi -0.2% sama seperti kuartal sebelumnya. Para pelaku usaha di Jerman masih memandang pesimis ekspektasi bisnis & iklim usaha 6 bulan ke depannya sebagaimana terefleksi pada angka German IFO Business Climate Index (Agus.). Wajar apabila bank sentral AS masih akan lanjutkan kebijakan moneter ketat apalagi terdeteksi ekonomi AS masih memanas, terlebih dengan laporan US New Home Sales di bulan Juli alami peningkatan di atas perkiraan sebesar 714 ribu unit dan secara bulanan naik cukup masif sebesar 4.4% mom. US Core Durable Goods Orders yang naik 0.5% mom di bulan Juli, lebih tinggi dari forecast & bulan sebelumnya di 0.2%. Demikian pula dengan Initial Jobless Claims yang ternyata muncul hanya sebesar 230 ribu (posisi terendah dalam 3 minggu), di bawah ekspektasi klaim pengangguran setidaknya tetap sama seperti di posisi terakhir 240 ribu; menandakan pasar tenaga kerja masih ketat.

Dari belahan timur dunia, Jepang merilis BOJ Core CPI di level 3.3% yoy, memanas di atas estimasi & periode sebelumnya di 3%. Inflasi di area Tokyo ternyata sedikit melandai ke level 2.9% yoy (sudah dalam trend turun 4 bulan belakangan ini), walau secara nasional tingkat CPI mereka di bulan Agustus tampaknya malah naik sedikit menjadi 2.6% yoy. Jepang juga laporkan pertumbuhan pada sektor manufaktur maupun jasa secara au Jibun Bank Japan Manufacturing PMI untuk bulan Agustus tercatat semakin mendekati perbatasan ekspansif pada angka 49.7, sementara Services PMI semakin mantap di teritori ekspansif pada angka 54.3. Namun di satu sisi, Jepang mencatat investasi asing pada obligasi dan pasar saham mereka alami penurunan yang cukup signifikan. Sementara itu, Korea Selatan merilis data Inflasi di tingkat produsen bulan Juli yang ternyata meningkat 0.3% secara bulanan, namun melandai -0.2% yoy secara tahunan. Korea Selatan juga umumkan level Keyakinan Konsumen (Agus.) di angka 103.1 yang mana sukses di atas ekspektasi walau sedikit turun dari bulan sebelumnya. Berita dari dalam negeri, Indonesia mencatat defisit Neraca Transaksi Berjalan Indonesia pada kuartal 2/2023 sebesar USD 7.4 miliar dan posisi Cadangan Devisa pada akhir Juni masih tinggi yakni sebesar USD 137.5 miliar. Bank Indonesia menjelaskan bahwa defisit transaksi berjalan masih terkendali seiring dampak tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah kondisi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global serta kenaikan permintaan domestik. Bank Indonesia juga kembali menetapkan suku bunga acuan tetap di tempat 5.75%, yang mana hal ini telah terjadi 7 bulan berturut-turut, karena dirasa posisi BI7DRR saat ini sudah cukup untuk mengendalikan Inflasi plus memperkuat usaha untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah. Adapun USD/IDR ditutup di posisi IDR15,290/USD, sudah melorot dari puncak tertinggi 5 bulan pada titik High Hari Kemerdekaan 17 Agustus di IDR 15,391/USD.

This week’s outlook:

Mendekati akhir bulan, pastinya sejumlah data ketenagakerjaan AS jadi perhatian para pelaku pasar. Dimulai dari JOLTs Job Openings (Juli), kemudian ADP Nonfarm Employment Change (Agus.) yang diramal bertumbuh 195 ribu lebih kecil dari bulan sebelumnya di 324 ribu, dan di akhir bulan AS memantau Average Hourly Earnings (Agus.), Nonfarm Payrolls (Agus.) diestimasi bertumbuh sebesar 170 ribu, juga mengecil dari bulan lalu di 187 ribu. Namun demikian, Unemployment Rate (Agus.) diperkirakan masih sticky di level 3.5%. Selain itu semua, yang tak kalah penting para pelaku pasar juga akan memantau US Consumer Confidence (Agus.)  US GDP 2Q23, Pending Home Sales (Juli); dan yang juga menghuni panggung utama adalah PCE (Personal Consumption Expenditure) Price index (Juli) diprediksi naik lagi jadi 3.35 yoy, dari 3.0% di bulan Juni. Index ini erat kaitannya dengan trend inflasi AS ke depannya dan akan memberikan sedikit ide kepada bank sentral ke mana arah kebijakan moneter ke depannya. S&P Global US Manufacturing PMI (Agus.) diperkirakan semakin kontraksi ke angka 47, turun dari posisi bulan Juli di 49. Dari benua Eropa, Gfk German Consumer Climate (Sept.) diprediksi masih relatif pesimis di zona negatif. EU Economic Forecasts juga akan disoroti pada pekan ini selain Euro Zone Business Climate (Agus.) & Consumer Conficence (Agus.) yang diperkirakan malah semakin pesimis akan iklim dunia usaha & ekonomi pada minus 16, membesar dari minus 15.1 di bulan sebelumnya. Di akhir bulan Agustus tingkat Inflasi sejumlah negara akan diumumkan: German CPI (Agus.), French GDP 2Q23 & CPI (Agus.), CPI zona euro (Agus.); demikian pula Inflasi Indonesia yang diprediksi naik ke 3.37% yoy di bulan Agustus, dari 3.08% yoy bulan sebelumnya.

Data PMI masih jadi perhatian para pelaku pasar di kawasan Asia, di mana Chinese Composite PMI (Agus.) diprediksi masih di zona kontraksi 49.5, namun diharapkan sedikit membaik dari bulan sebelumnya di 49.3. Arah investor di Indonesia juga akan memonitor Manufacturing PMI (Agus.). Dari negara tetangga, Korea selatan akan laporkan Trade Balance (Agus.) di hari jumat yang diprediksi kembali dalam zona defisit sebesar KRW 1.2 milyar setelah catatkan surplus 3 bulan berturut-turut.

Download full report HERE.