Last week review:
Sebelum memulai libur panjang Idul Fitri, pekan lalu pasar keuangan Indonesia menutup perdagangan setelah data surplus Trade Balance (Mar.) dirilis jatuh ke angka USD 2.91 miliar; di mana ini merupakan penurunan pertama dalam 29 bulan dikarenakan melemahnya harga komoditas dan permintaan global, menyebabkan Ekspor dan Impor masing-masing menyusut 11.33% YoY dan 6.26% YoY. Adapun posisi utang luar negeri Indonesia bulan Februari turun ke angka USD 400.1 miliar, dari USD 404.6 miliar pada bulan Januari. Pada pekan perdagangan yang singkat minggu lalu, RDG BI juga telah menetapkan BI7DRR dijaga di level 5.75%. Pelaku pasar sempat pula menyaksikan bahwa kebangkitan ekonomi terbesar kedua di dunia yaitu China mulai terlihat secara GDP kuartal 1/2023 berhasil tumbuh di atas ekspektasi menjadi 4.5% YoY dan 2.2% QoQ; ditopang oleh Industrial Production (Mar.) yang berhasil menguat ke posisi 3.9% YoY dari 2.4% bulan sebelumnya. Ternyata angka Retail Sales (Mar.) mereka juga naik di atas perkiraan; sedangkan Unemployment Rate (Mar.) sejatinya mulai berkurang. People’s Bank of China pun menjaga tingkat bunga pinjaman di level 3.65% demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih lagi. Sebaliknya, tingkat pengangguran di Inggris justru meningkat 3 kali lipat walau tingkat upah pekerja masih belum berkurang, Hal ini sejalan dengan tujuan bank sentral mereka untuk menekan daya beli masyarakat dan akhirnya diharapkan berhasil mendinginkan tingkat Inflasi mereka (Mar.) yang masih ngotot di level double digit 10.1% YoY. Inflasi Inti Inggris (Mar.) juga belum bisa turun dari level 6.2% YoY (sama seperti posisi di bulan sebelumnya). Besarnya tekanan ekonomi di benua Eropa sesungguhnya telah diramalkan oleh Jerman yang masih sangat pesimis memandang sentimen dunia usaha yang bergulir di bulan April ini, dan di Zona Eropa pada umumnya; tercermin pula dari tingkat Inflasi Zona Eropa (Mar.) berhasil turun sesuai ekspektasi ke level 6.9% YoY (dari 8.5% bulan sebelumnya), dan angka PPI Jerman (Mar.) yang sukses jauh melandai ke angka 7.5% YoY (dari 15.8% bulan sebelumnya). Uniknya, terlepas dari tanda-tanda perlambatan ekonomi ini ternyata Trade Balance Euro Zona (Feb.) berhasil mencetak surplus yang cukup signifikan sebesar EUR 4.6miliar (dibanding forecast & previous period yang masih defisit) , didukung oleh Composite PMI Jerman, Inggris, & Euro Zone yang semakin ekspansif berkat pertumbuhan di sektor jasa. Menimbang hal-hal tersebut di atas, kenaikan suku bunga sebesar 50bps sepertinya tetap menjadi opsi yang dijagokan bank sentral Eropa minggu depan.Di sisi lain, pasar AS mengharapkan Federal Reserve bisa segera mengerem laju kenaikan suku bunga karena gejala soft landing yang semakin nyata; terbukti dari data ketenagakerjaan macam Initial Jobless Claims yang rilis di atas forecast & ekspektasi, melaporkan tingkat pengangguran di angka 245 ribu. Tak heran jika Philadelphia Fed Manufacturing Index juga mengindikasikan kondisi umum dunia usaha yang memburuk di Philadelphia pada bulan April ini; walaupun secara nasional S&P Global Composite PMI (Apr.) menunjukkan kondisi yang masih relatif ekspansif di seantero AS dengan pembacaan di 53.5 (vs forecast 52.8 dan previous period 52.3).

This week’s outlook:
Data ekonomi AS akan memberi gambaran lebih terang ke mana arah kebijakan suku bunga, yang mana sesungguhnya market sudah perkirakan akan ada kenaikan 25 bps pada FOMC Meeting bulan depan. Di saat yang sama, pelaku pasar juga mengharapkan bank sentral AS akan bisa memotong suku bunga sekitar akhir tahun ini untuk menurunkan tekanan biaya bunga pada badan usaha. Data makroekonomi AS yang telah dirilis pekan ini sementara pelaku pasar Indonesia masih menikmati libur hari raya Idul Fitri, di antaranya adalah: Indeks Keyakinan Konsumen AS atau US Consumer Confidence (Apr.) yang merupakan indikator utama atas aktivitas ekonomi keseluruhan, mengeluarkan pembacaan lebih rendah dari forecast & previous di 104, yaitu pada angka 101.3. Di satu sisi, view ekonomi yang pesimistis tersebut di-offset oleh Building Permits and New Home Sales (Mar.) yang ternyata menunjukkan penambahan di atas perkiraan. Adapun data ekonomi penting lainnya dari AS yang ditunggu adalah: Durable Goods Orders (Mar.) & Trade Balance (Mar.) pada hari Rabu; disusul GDP kuartal 1/2023, Initial Jobless Claims, dan laporan Pending & New Home Sales bulanan (Mar.) yang sedianya rilis Kamis depan ; kemudian Core PCE Price index , Personal Spending (Mar.), Chicago PMI (Apr.), Michigan Consumer Expectations & Sentiment (Apr.) pada hari Jumat. Dari benua Asia, tingkat Inflasi di Tokyo (Apr.) baik tahunan maupun bulanan, Industrial Production (Mar.), Retail Sales (Mar.) akan mendapat sorotan menjelang Gubernur Bank of Japan yang baru, Kazuo Ueda membuat keputusan terkait suku bunga pada rapat kebijakan pertamanya. Sementara itu, tidak banyak data ekonomi yang ditunggu dari Indonesia, selain view optimis dari Gubernur BI yang memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 bisa mencapai 5.3%, ditopang naiknya peningkatan konsumsi domestik dan positifnya kinerja ekspor.Laporan kinerja perusahaan teknologi berkapitalisasi mega akan menguji kemungkinan rally tahun ini. Pelaku pasar juga akan memantau laporan keuangan bank-bank Eropa sebagai imbas dari krisis perbankan bulan lalu. Di sisi lain, laporan makroekonomi Zona Eropa akan membantu pengambilan keputusan ECB; di antaranya yang telah rilis adalah dari negara dengan ekonomi terkuat di Eropa: German Ifo Business Climate Index (Apr) di angka 93.6, yang walaupun masih lebih rendah dari forecast 94 dari Jerman menyusul data: Consumer Climate untuk view bulan May, Unemployment Change (Apr.), GDP 1Q23, and CPI (Apr.). Inggris dan Zona Eropa secara umum tidak mau kalah dengan menyumbangkan data UK Labour Productivity 4Q22; Euro Zone GDP 1Q23 (Jumat), Business Climate, and Consumer Confidence – Expectations (Apr.) ECB diperkirakan masih akan pertahankan tren naik suku bunga, dengan menetapkan setidaknya 25 bps pada rapat bank sentral bulan Mei.

Download full report HERE.