Summary:

WHAT A BEARISH WEEK, untuk minggu lalu, S&P 500 turun 3,05%, Nasdaq turun 5,52%, dan Dow naik 0,01%. S&P mengalami penurunan mingguan terbesar sejak Maret 2023 dan Nasdaq mengalami penurunan mingguan terbesar sejak pekan 31 Oktober 2022. Bisa dilihat bahwa bullish yang tercipta sejak bottom November lalu ini mulai semakin hilang arah; dipicu konflik Timur Tengah semakin meruncing pada akhir pekan dua minggu yang lalu ketika Iran menyerang Israel dengan mengirimkan 300 drone peledak dan rudal yang sebagian besar diklaim berhasil dihalau oleh Israel; ditambah sentimen negatif market oleh pupusnya harapan pemotongan suku bunga segera dilaksanakan tahun ini, akibat data ekonomi AS yang bermunculan masih menunjukkan kekuatan ekonomi. Dimulai dari data Penjualan Retail AS (yang menopang sebagian besar pertumbuhan ekonomi AS) tumbuh lebih cepat dari perkiraan, langsung membuat yield US Treasury merangkak naik ke titik tertinggi 5 bulan (sejak Nov lalu). Menyusul data tersebut, beberapa ekonom merevisi ekspektasi pertumbuhan ekonomi kuartal 1 jadi lebih tinggi dan memperingatkan bahwa penurunan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Hal ini pun segera diamini oleh Federal Reserve Chairman Jerome Powell dan sejumlah koleganya di bank sentral AS, dengan kata-kata bahwa suku bunga higher for longer masih diperlukan, serta mereka merasa masih cukup nyaman bersabar untuk memantau Inflasi dalam trajectory yang stabil menuju Target 2% sebelum memutuskan pemotongan suku bunga. Alhasil peluang pivot 25 bps ini terjadi pada FOMC Meeting di bulan Juni langsung susut menjadi hanya sekitar 17.5% saja; sementara rate cut terjadi di bulan August menjadi 37.5%, inipun mengempis dari 44.5% di pekan lalu, seperti dilansir dari Fed Rate Monitor Tool milik Investing.com. Lembaga keuangan besar seperti Morgan Stanley pun melihat ramalan pemotongan suku bunga AS tahun ini menjadi semakin suram, selain telah mencabut kemungkinan pemotongan suku bunga di bulan Juni dan memundurkannya ke bulan Juli/Agustus, mereka pun mengurangi perkiraan total rate cut The Fed tahun ini menjadi 3x saja (adapun ini masih sesuai dengan proyeksi dari The Fed sendiri), turun dari perkiraan awal mereka yaitu 4x.

Lebih parahnya lagi, UBS market strategist sampai harus memprediksikan bahwa The Fed mungkin malah perlu naikkan suku bunga sampai 6.5% di tahun depan jika pertumbuhan ekonomi AS & Inflasi yang sticky tetap tidak terbendung. Ketika Powell mengatakan bahwa potensi melonggarkan kebijakan moneter masih ada jikalau terbukti ada pelemahan signifikan di sektor tenaga kerja, data Initial Jobless Claims mingguan terakhir malah tidak mendukung dengan adanya stagnasi, sementara Philadelphia Fed Manufacturing Index malah naik signifikan ke level tertinggi dalam 2 tahun di bulan April.

MUSIM LAPORAN KEUANGAN KUARTAL 1 mulai berdatangan dengan sejumlah perusahaan S&P 500 kebanyakan melaporkan kinerja Q1 mereka di atas ekspektasi, yang lagi-lagi hal ini pun menunjukkan betapa resilien kekuatan ekonomi AS. Namun sayangnya hal ini tidak mampu memompa sentimen positif di market dan lebih dilihat sebagai factor yang semakin menghalangi pemotongan suku bunga AS di tahun ini. Terakhir, sentiment dari PERANG ISRAEL-IRAN yang kian sengit dengan serangan balasan masing-masing pihak yang dipantau seluruh audience global (bahkan sampai menyinggung ke pusat nuklir Iran), mengirim harga EMAS ke titik rekor tertinggi di atas USD 2400 / ounce (naik hampir 1% dalam sepekan terakhir). Walau demikian, pekan lalu harga MINYAK US WTI malah mundur 4.07% akibat adanya lonjakan stok cadangan mingguan minyak mentah AS yang jauh di atas ekspektasi, ditambah kekhawatiran bahwa oversupply tidak sesuai dengan demand global yang masih terkesan lesu. Dua faktor tersebut dipandang lebih dominan ketimbang masalah konflik Timur Tengah yang mengancam kelancaran arus logistic minyak global. RUPIAH yang masih betah melemah di atas 16200 / USD (-0.83% sepekan terakhir) juga menambah aura gloomy di pasar, sementara YIELD OBLIGASI NEGARA INDONESIA tenor 10 tahun telah melesat ke level 7.0% lagi, titik tertinggi dalam hampir 6 bulan. Tak ayal, IHSG pun harus menyerap semua sentiment negative di pasar ini dan menghasilkan penurunan sepekan sebesar 2.3%.

Kali ini, market benar-benar menyikapi good news as bad news, dan bad news as bad news; jadi kesimpulannya hampir tidak ada good news yang tersisa untuk menopang market.

This week’s outlook:

Laporan laba dari sejumlah perusahaan teknologi besar dan data acuan Inflasi dari Personal Consumption Expenditure (PCE) price index akan mewarnai pekan ini, di kala rally saham AS mulai kehilangan tenaganya dipicu kekuatiran suku bunga masih harus higher for longer. Para ekonom perkirakan PCE price index akan tetap tinggi di bulan Maret. Belakangan ini data ekonomi mengindikasikan bahwa penanganan Inflasi terkesan stagnan, di saat pasar tenaga kerja masih kuat, sedangkan tensi geopolitik Timur Tengah yang kian memanas semakin melambungkan harga minyak, serta komentar dari para pejabat The Fed termasuk ketuanya Jerome Powell memberi sinyal bahwa para investor harus memundurkan harapan pemotongan suku bunga tahun ini. Bicara mengenai data ekonomi, selain PCE price index pekan ini para pelaku pasar akan juga disuguhkan angka GDP kuartal 1, New Home Sales, Initial Jobless Claims mingguan seperti biasa, serta consumer sentiment dari Univ. of Michigan yang terpandang.

Musim Laporan keuangan kuartal 1 masih dalam tahap awal, para analis melihat bahwa agregat pertumbuhan laba para perusahaan S&P 500 tumbuh 2.9% yoy, turun dari 5.1% yang dikira pada awal April, menurut data LSEG yang dikutip Reuters. Minggu ini 4 perusahaan Magnificent Seven raksasa teknologi akan melaporkan kinerja mereka: Tesla, Meta, Microsoft, dan Google.

Harga Minyak sedikit naik pada hari Jumat lalu namun membukukan penurunan mingguan terbesar sejak Februari, setelah Iran terkesan tidak begitu menganggap berarti serangan balasan drone Israel, memberikan indikasi bahwa eskalasi konflik Timur Tengah ini dapat terhindari. Namun demikian, para trader masih belum berani menihilkan kemungkinan perang ini akan mengganggu supply. Pada hari Jumat lalu, IMF meminta OPEC+ untuk mulai menaikkan produksi minyak sejak dimulai bulan Juli, setelah para member OPEC+ (yang dipimpin Saudi Arabia dan Rusia) sampai pada akhir masa pemotongan produksi sukarela sebesar 2.2juta barel per hari di akhir Juni.

Para investor juga akan ketat memantau angka PURCHASING MANAGER INDEX dari Eurozone, AS, dan Inggris pada hari Selasa untuk mencari petunjuk lebih lanjut mengenai Inflasi, terutama di sektor jasa. Sektor jasa AS & Eropa diketahui telah melambat dan ini bisa membimbing European Central Bank untuk menjalankan rencana pemotongan suku bunga mereka di bulan Juni. Di sisi lain, kenaikan suku bunga justru dipantau dari Bank of Japan setelah mereka merilis pertumbuhan ekonomi kuartalan dan perkiraan Inflasi pada rapatnya hari Jumat depan. BOJ Governor Kazuo Ueda mengatakan pada hari Jumat bahwa bank sentral Jepang sangat mungkin menaikkan suku bunga jika Inflasi tetap merangkak naik serta mengurangi pembelian obligasi besar-besaran mereka. Yen Jepang sendiri telah mundur teratur sejak keputusan BOJ bulan lalu untuk mengakhiri era suku bunga negatif 8 tahun, seiring para pelaku pasar lebih fokus pada nada dovish bank sentral atas biaya pinjaman yang masih akan sekitar 0% untuk sementara waktu.

Para investor / trader INDONESIA akan menantikan sejumlah data ekonomi penting dimulai hari Senin ini: Trade Balance (Mar) serta pertumbuhan Ekspor – Impor kita, disusul oleh keputusan RDG BI terkait suku bunga di hari Rabu.

Download full report HERE.