Last week review:
Tiga bintang yang menjadi pusat perhatian pekan lalu adalah Inflasi AS (Juli), Inflasi China, serta GDP 2Q23 Indonesia. Dow Jones Industrial Average catatkan performa pekan lalu dengan naik 0,6%. Namun di sisi lain, pertama kalinya Nasdaq jatuh selama dua minggu berturut-turut pada tahun 2023 ini, menyebabkan Nasdaq merosot 1,9% pada pekan lalu, sementara S&P 500 turun 0,3%. Adapun mata para pelaku pasar tertuju pada US CPI (Juli) yang menunjukkan Inflasi headline dan inti masing-masing naik 3.2% yoy dan 4.7% yoy; secara bulanan keduanya sama-sama naik 0.2% mom. Dengan Inflasi berhasil melandai ke bawah level estimasi, ada harapan bahwa US Federal Reserve akan segera menghentikan kebijakan moneter ketat di tahun 2023 dan bisa mulai memotong suku bunga pada awal tahun depan. Komentar para pejabat The Fed terkait hasil tersebut terbagi dua antara suku bunga mungkin akan dipertahankan tetap di level saat ini pada FOMC Meeting bulan September (di mana para pelaku pasar telah memperhitungkan 86.5% kemungkinan tersebut, menurut CME FedWatch Tool), dan suara lain yang ingin lebih berhati-hati dengan mengatakan bahwa walau Inflasi bergerak ke arah yang benar, lebih banyak data diperlukan sebelum bank sentral merasa nyaman untuk memberlakukan rate pause. Pandangan yang terakhir ini sontak mengirim yield US Treasury tenor 10-tahun mengangkasa ke atas level 4.150% dan otomatis menekan harga saham teknologi raksasa. Sebagai pelengkap, Inflasi AS di tingkat produsen, alias PPI bulan Juli melonjak lebih tinggi dari ekspektasi ke angka 0.8% yoy dan 0.3% mom Di sisi lain, klaim pengangguran Initial Jobless Claims dirilis meningkat di atas ekspektasi sebesar 248 ribu (vs forecast 230 ribu ; vs previous 227 ribu).
Sentimen negatif ditambahkan oleh lembaga pemeringkat kredit Moody’s yang men-downgrade 10 bank kecil-menengah AS sebanyak 1 tingkat dan me-review 6 bank raksasa termasuk Bank of New York Mellon, US Bancorp, State Street, dan Truist Financial atas kemungkinan mendapatkan pemangkasan peringkat juga. Hal ini kembali memunculkan kekhawatiran atas kesehatan sektor perbankan AS dan ekonomi AS secara keseluruhan. Moody’s juga berikan peringatan bahwa kekuatan sektor ini akan diuji dengan risiko kredit dan lemahnya profitability. AS pun turut merilis data Trade Balance (Juni) dengan defisit USD 65.5 miliar, kurang lebih sesuai dengan ekspektasi dan wajar defisit lebih rendah dari bulan sebelumnya karena Ekspor AS tidak banyak berubah sementara penurunan Impor lebih besar, mencerminkan perlambatan ekonomi nyata terbukti. Last but not least, Presiden AS Joe Biden turut menyumbangkan faktor kurang kondusif atas market dengan menandatangani perintah eksekutif terkait trade war dengan China; di mana beliau melarang beberapa investasi baru AS di China dalam sektor teknologi sensitif seperti chip komputer; serta mengesahkan ketentuan bahwa investasi di sektor teknologi lain membutuhkan notifikasi pemerintah. China benar-benar masih berjuang dengan perbaikan ekonomi pasca Covid yang berjalan sangat lambat, secara CPI China alami deflasi di bulan Juli lalu ke tingkat -0.3% yoy (merupakan deflasi pertama sejak Maret 2021), semakin melemah dari posisi Juni yang sudah berada di titik nol persen; namun demikian kabar baiknya secara bulanan terlihat ada sedikit peningkatan ke tingkat 0.2% mom daripada minus 0.2% di bulan sebelumnya (merupakan pertumbuhan positif pertama dalam 6 bulan). Data ekonomi China yang mengecewakan lainnya adalah ketika China melaporkan surplus Trade Balance (Juli) di angka USD 80.6 miliar, melebihi ekspektasi dan posisi bulan sebelumnya di sekitar USD 70.6 miliar; namun mencatatkan penurunan Ekspor & Impor yang jauh di bawah perkiraan untuk bulan Juli. Diketahui bahwa Impor minyak mentah ke China (yang merupakan importir dan konsumer minyak terbesar kedua di dunia) anjlok 18.8% di bawah angka bulan Juni; walau sudah naik 17% dari posisi rendah setahun lalu.
Pekan lalu juga merupakan minggu yang sarat data makroekonomi bagi Indonesia, dengan highlight GDP Indonesia kuartal 2/2023 yang sukses memberi kejutan manis dengan pertumbuhan ekonomi 5.17% yoy, di atas ekspektasi 4.9% dan dari kuartal sebelumnya di 5.04%; walau berita baik tersebut tak mampu mengangkat IHSG ke ranah 7000 dan hanya bergerak hampir 0,1% selama sepekan terakhir. Bagaimanapun juga ini menandakan periode ekspansif untuk 9 kali berturut-turut, didukung oleh meningkatnya konsumsi selama perayaan hari raya Idul Fitri. Cadangan devisa Indonesia juga menanjak ke angka USD 137.7 miliar di bulan Juli, naik sedikit dari USD 137.5 miliar, berkat penerimaan pajak dan jasa. Indonesia juga mengumumkan Indeks Keyakinan Konsumen (Juli) di angka 123.5, (merupakan level terendah dalam 4 bulan); walau masih berada di zona optimis (>100) namun turun dari bulan Juni pada 127.1. Retail Sales Indonesia ternyata semakin kencang di bulan Juni yaitu sebesar 7.9% dibanding bulan sebelumnya pada posisi -4.5%.
Dari benua Eropa, Jerman melaporkan angka Inflasi Juli yang dirilis sesuai ekspektasi 6.2%, akhirnya mampu lebih rendah dari bulan Juni di 6.4%. Mengenai komoditas, Minyak Mentah dunia sudah rally selama hampir 2 bulan dan belum ada tanda-tanda kenaikan ini akan berhenti, didukung oleh prakiraan rekor permintaan minyak dunia pada bulan ini – seperti dipantau dengan ketat oleh International Energy Agency; mengakibatkan harga minyak mentah berakhir menduduki kenaikan 7 minggu berturut-turut. Itu adalah kemenangan beruntun terpanjang bagi bullish Crude Oil sejak Juni 2022. Namun demikian, WTI naik kurang dari 0,5% di minggu lalu, merupakan kenaikan mingguan terkecil untuk minyak mentah AS dibandingkan dengan kenaikan hampir 5% dua minggu lalu. Adapun AS memproduksi minyak 12.6 juta barel per hari selama pekan terakhir (4 Agustus), seperti dilansir dari Weekly Petroleum Status Report EIA; merupakan titik tertinggi produksi selama 3 tahun belakangan ini. Uniknya hal tersebut tak menghalangi harga US West Texas Intermediate atau WTI, sempat merangkak naik ke harga USD 84.89/barrel, titik tertingginya sejak November lalu. Di lain pihak, Emas mengalami minggu terburuk dalam 7 minggu, tertekan oleh US Dollar yang lebih kuat secara keseluruhan dan peningkatan imbal hasil obligasi karena investor mencerna angka inflasi AS terbaru dan menunggu lebih banyak data ekonomi. Untuk pekan lalu, benchmark US Gold futures turun USD 29,50, atau 1,5%; sementara harga spot Emas menetap di USD 1.913,88, turun USD 27,74, atau 1,4% secara mingguan.
This week’s outlook:
Risalah pertemuan Federal Reserve bulan Juli hari Rabu akan diawasi dengan ketat oleh para investor seiring mereka mencari panduan tentang jalur suku bunga acuan ke depannya . Data penjualan ritel dan pendapatan ritel juga akan memberikan wawasan tentang kesehatan belanja konsumen, sementara data dari China diperkirakan akan menggarisbawahi kekhawatiran atas pemulihan ekonomi yang goyah dari negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini. Sebelum pasar mulai mengalihkan perhatian mereka ke pertemuan tahunan The Fed di Jackson Hole, Wyoming pada akhir bulan, investor akan fokus lebih dahulu pada rilis notulen rapat bulan Juli di hari Rabu. Seperti diketahui, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin bulan lalu dan membiarkan pintu terbuka untuk kenaikan lain pada bulan September. Notulen ini akan membantu para investor mengukur keperluan untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut, meskipun pasar bertaruh pada adanya jeda di bulan September. Data minggu lalu menunjukkan bahwa meskipun harga konsumen dan produsen AS meningkat moderat pada bulan Juli, tren keseluruhan menunjukkan bahwa tekanan inflasi mereda. Adapun bank sentral AS telah menaikkan suku bunga sebesar 5,25 poin persentase sejak Maret 2022 untuk menurunkan inflasi ke target 2%. Sementara itu, sederet data ekonomi akan dirilis AS pada pekan ini, dimulai dengan data penjualan ritel Juli pada hari Selasa yang diperkirakan akan menunjukkan peningkatan permintaan pada awal kuartal ketiga setelah kenaikan di bawah ekspektasi pada bulan Juni. Data lain juga diperkirakan akan menunjukkan bahwa sektor manufaktur masih berjuang: Empire State Manufacturing Index diperkirakan akan jatuh ke wilayah negatif, sementara Philly Fed Manufacturing Index diperkirakan akan tetap berada di wilayah negatif. Data sektor perumahan diperkirakan akan lebih positif dengan laporan Building Permits & Housing Starts pada hari Rabu diharapkan menunjukkan tanda-tanda stabilisasi. AS juga akan mengumumkan laporan mingguan Initial Jobless Claims pada hari Kamis yang kini diperkirakan akan turun setelah kenaikan tak terduga pada pekan lalu. Jangan lupakan laporan kinerja kuartal 2/2023 dari perusahaan AS yang akan didominasi eniten sektor retrail yang akan berikan gabaran mengenai kesehatan pembelanjaan konsumen, driver utama dari ekonomi AS. Sejauh ini, animo dari musim pendapatan kuartal kedua telah mereda dengan hasil perusahaan S&P 500 menyajikan gambaran beragam: para emiten mengalahkan ekspektasi laba analis di tingkat tertinggi dalam hampir 2 tahun bahkan ketika pendapatan turun ke level terendah sejak awal 2020.
Pemulihan ekonomi China pasca-COVID memang cukup tersendat-sendat dalam beberapa bulan terakhir setelah kuartal pertama yang kuat, terbebani oleh lemahnya permintaan di dalam dan luar negeri. Beijing akan merilis data Retail Sales, Industrial Production, and Fixed Asset Investment pada hari Selasa, yang diperkirakan hanya akan menunjukkan kenaikan moderat. Adapun data pekan lalu menunjukkan bahwa harga konsumen China membukukan deflasi pertama mereka dalam lebih dari dua tahun pada Juli, menambah tekanan atas para pembuat kebijakan untuk berbuat lebih banyak demi menopang ekonomi. Pemerintah China telah berjanji untuk meluncurkan paket-paket stimulus untuk mendukung perekonomian, meskipun detail yang belum jelas atas hal ini agak mengecewakan para investor. Indonesia kembali akan sarat data eknomi di pekan peringatan hari kemerdekaan ini secara esok Selasa akan diwarnai oleh data Retail Sales dan Trade Balance (Juli) yang diharapkan kembali catatkan surplus untuk kesekian kalinya namun kali ini di angk USD 2.53 milyar, lebih rendah dari bulan sebelumnya USD 3.46 milyar; diperkirakan karena masih anjloknya Ekspor & Impor walau penurunannya diprediksi mulai melambat. Inggris akan laporkan angka Inflasi (Juli) dimana diperkirakan mampu menjinak ke level 6.8% yoy, dari 7.9% bulan Juni. Pada hari Jumatnya, menyusul pengumuman CPI Zona Euro (Juli) yang juga diharapkan mampu melunak ke level 5.3% yoy, dari 5.5% bulan sebelumnya.
Download full report HERE.