Last week review:

Setelah pasar saham dua minggu lalu berpesta pora dengan persentase kenaikan mingguan terbesar dalam setahun ditopang oleh data ketenagakerjaan AS yang lemah, turunnya US Treasury yield, dan harapan Federal Reserve telah mendekati akhir trend naik suku bunganya; untuk pekan lalu Wall Street kembali mengulang euphoria market dengan Dow Jones naik sekitar 0,7%, S&P 500 naik 1,3% dan Nasdaq naik 2,4%. Ekspektasi bahwa siklus kenaikan suku bunga The Fed akan segera berakhir telah meningkat dalam beberapa hari terakhir, namun sejatinya belum tertutup kemungkinan akan adanya satu kenaikan suku bunga lagi di tahun ini apalagi mengingat rilis GDP 3Q23 AS terakhir berada pada tingkat 4.9% yoy membuktikan suatu kinerja ekonomi yang kuat. Dengan demikian, pejabat bank sentral pun berhati-hati dalam memberikan komentar mengenai jalur suku bunga di masa depan. Federal Reserve Chairman Jerome Powell mengeluarkan statement yang berhati-hati mengenai kelanjutan kebijakan moneter, yang dikatakan bahwa mereka tidak akan segan kembali menaikkan suku bunga apabila bukti-bukti mengharuskan demikian. Adapun hal ini menggeser harapan para pelaku pasar bahwa pemotongan suku bunga pertama menjadi mundur ke bulan Juni 2024, dari perkiraan awal pada Mei 2024.

Ketika di satu pihak AS tidak ada masalah dengan pertumbuhan ekonomi, China justru berjuang untuk keluar dari zona deflasi. Inflasi China (Okt.) rilis di angka -0.2% yoy, membuat deflasi ini lebih besar dari perkiraan -0.1%. Indeks harga barang/jasa di sektor produsen atau PPI (Okt.) pun masih berkutat di angka minus 2.6%, semakin membesar dari deflasi -2.5% di bulan sebelumnya. Hal ini semakin menegaskan bahwa perbaikan ekonomi China pasca-Covid memang masih berjalan di jalur lambat. Data sebelumnya malah menunjukkan Trade Balance China meleset jauh dari perkiraan disebabkan total Ekspor dari barang & jasa terkontraksi lebih dalam dari perkiraan, walau dari sisi permintaan, impor minyak China di bulan Oktober menunjukkan peningkatan tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa outlook ekonomi China masih akan terus melemah karena tergerusnya permintaan dari negara tujuan ekspor mereka, yaitu negara-negara Barat. Perlambatan ekonomi memang masih nyata terasa di benua Eropa, secara PMI Zona Euro, Jerman, dan Inggris dikonfirmasi masih bergelut di wilayah kontraksi. Ini adalah harga yang harus dibayar ketika Jerman akhirnya mampu menekan Inflasi (Okt.) sesuai ekspektasi ke angka 3.8% yoy. Jerman sukses kembalikan level Inflasi ke titik terendah di akhir Agustus 2021, dari puncak tertinggi 10,4% pada akhir November 2022. Namun setidaknya Inggris masih mampu pertahankan GDP 3Q23 di level 0.6% yoy, malah alami pertumbuhan 1.3% di bulan September (lebih tinggi dari forecast & bulan sebelumnya).

Bicara mengenai pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan GDP Indonesia kuartal 3/2023 ternyata tidak sesuai harapan; hanya naik sebesar 1,60% qoq, meleset dari konsensus pasar 1,71% dan melambat tajam dari 3,86% pada Q2. Secara tahunan, perekonomian tumbuh sebesar 4,94% yoy di Triwulan ke-3 tahun 2023, lebih rendah dari perkiraan pasar 5,05%, melambat dari ekspansi 5,17% di Triwulan ke-2, menunjukkan pertumbuhan terlemah sejak triwulan ketiga tahun 2021, yang terutama disebabkan oleh penurunan ekspor, di tengah moderasi harga komoditas. Sejumlah data makroekonomi Indonesia dipaparkan pada pekan lalu, seperti: Cadangan Devisa (Okt.) keluar di angka USD133.1 miliar, walau turun dari posisi bulan sebelumnya USD134.9 miliar (karena pembayaran utang LN pemerintah dan terpakai dalam usaha menstabilkan Rupiah), angka ini cukup aman setara dengan pembiayaan ekspor 5.9 bulan dan masih berada di atas standar internasional. Indeks Keyakinan Konsumen (Okt.) Indonesia pun terdata meningkat menjadi 124.3, dibanding 121.7 pada bulan September. Melengkapi semua itu, Retail Sales untuk bulan September meningkat 1.5% yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 1.1%. Adapun nilai tukar Rupiah menguat 0.21% selama sepekan terakhir di mana sempat tersentuh titik terendah IDR15510/USD sebelum akhirnya ditutup pada IDR15690/USD pada penghujung pekan lalu. Namun demikian asing terlihat masih jual bersih selama sepekan terakhir di angka IDR 711.84 miliar, menyisakan total Foreign Net Buy YTD hanya sekitar IDR 1.52 triliun (RG market).

KOMODITAS: Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), yang diperdagangkan di New York ditutup turun 4,1% untuk pekan lalu, setelah sebelumnya mengalami penurunan mingguan berturut-turut sebesar 6% dan 3%. Hal ini terjadi setelah harga acuan Minyak mentah AS ini anjlok 11% pada bulan Oktober. Sementara itu, Minyak mentah Brent turun 3,8% selama sepekan terakhir, setelah penurunan mingguan berturut-turut sebesar 6% dan 2%. Sekedar mengingatkan, pada bulan Oktober harga acuan Minyak mentah global yang diperdagangkan di London ini juga merosot 11%. Memudarnya kekhawatiran gangguan supply dari perang Israel-Hamas serta lesunya ekonomi China, plus ditambahnya volume Ekspor oleh negara-negara OPEC+ membuat Crude Oil secara keseluruhan kehilangan daya tawar. Keyakinan bahwa eskalasi Konflik Timur Tengah tidak akan meluas juga membuat harga Emas meleleh 3.1% pada pekan lalu, Gold futures ditutup di harga USD 1937.7/ounce.

This week’s outlook:

Investor sedang menunggu data Inflasi AS untuk bulan Oktober pada hari Selasa, demi mengetahui perkembangan terkini mengenai kemajuan The Fed dalam upayanya menurunkan inflasi dari level tertinggi dalam beberapa dekade. US CPI (Okt.) diperkirakan meningkat 0,1% mom. Inflasi yang mendingin dengan lebih cepat dapat memicu harapan bahwa suku bunga telah mencapai puncaknya, yang juga dipicu oleh laporan ketenagakerjaan bulan Oktober, yang menunjukkan adanya pelonggaran kondisi di pasar tenaga kerja. AS juga akan merilis data PPI dengan angka Penjualan Ritel untuk bulan Oktober, yang diperkirakan akan turun ke teritori negatif setelah serangkaian kenaikan bulanan yang solid. Data lain yang akan dirilis mencakup laporan Industrial Production, Housing Starts, dan tentunya Initial Jobless Claims mingguan.

Para investor juga akan mendapat kesempatan untuk mendengar sepatah dua patah kata dari beberapa pejabat tinggi The Fed, setelah pada Kamis lalu Chairman Jerome Powell mengatakan bahwa para pembuat kebijakan belum yakin bahwa tingkat suku bunga saat ini sudah selesai berperang dengan Inflasi. Komentarnya pun diamini oleh pejabat tinggi lainnya yang kembali menegaskan bahwa Federal Reserve belum tentu usai dengan trend naik suku bunganya. Para pelaku pasar fokus memantau yield US Treasury yang telah turun jatuh dari titik tertinggi 16 tahun seraya memperhitungkan peluang kapan bank sentral akan bisa memulai pemotongan suku bunga.

Risiko US government shutdown kembali menghantui pemerintah AS jika mereka tak mampu mencapai kata sepakat perpanjangan dana operasional sebelum Jumat depan. Sementara itu, harga Minyak diperkirakan akan cukup berfluktuatif seiring Iraq menyuarakan dukungan atas rencana pemangkasan produksi OPEC+, menjelang meeting OPEC+ tanggal 26 November nanti; di tengah kekhawatiran akan lesunya permintaan global.

MARKET ASIA: Giliran GDP Jepang 3Q23 akan jadi sorotan Rabu nanti ketika diperkirakan pertumbuhan ekonomi Jepang pun jadi terbenam di wilayah kontraksi. Tak lupa ditunggu angka Ekspor Impor Jepang bulan Oktober, yang diperkirakan Ekspor akan drop ke level 1.2% yoy, turun jauh dari 4.3% sebelumnya; dengan demikian berisiko menghasilkan Trade Balance yang defisit. Sementara itu Indonesia masih optimis akan surplus Trade Balance mampu mencapai USD 3.3 miliar, walau melemah sedikit dari bulan sebelumnya, namun diharapkan laju penurunan Ekspor Impor sudah mulai melambat.

MARKET EROPA: Inggris akan laporkan CPI (Okt.) yang diharapkan mampu melandai ke level 4.8% yoy, jauh dingin dari posisi sebelumnya 6.7%. Demikian pula Zona Euro akan laporkan CPI di pekan yang sarat sorotan kepada tingkat Inflasi, di mana mereka berharap mampu menjinakkan Inflasi ke level 2.9% yoy, dari 4.3% pada periode sebelumnya. 

Download full report HERE.