Summary:

Last Week Review

BANK SENTRAL AS TELAH MENDAPATKAN INPUT INDIKATOR EKONOMI DARI DATA KETENAGAKERJAAN TERKAIT ARAH KEBIJAKAN MONETER MEREKA KE DEPANNYA. Pekan lalu yang sarat dengan data tenaga kerja AS sedikit banyak memberikan petunjuk kepada Federal Reserve dalam mengakhiri kebimbangan terkait apakah mereka bisa mulai perhitungkan penurunan suku bunga di tahun ini. JOLTs JOB OPENINGS (Apr) dan ADP NONFARM EMPLOYMENT CHANGE (May) memang dirilis lebih rendah dari ekspektasi, plus ditambah oleh INITIAL JOBLESS CLAIMS mingguan yang ternyata menunjukkan klaim pengangguran muncul lebih tinggi dari perkiraan. Ketiga hal ini telah menunjukkan pelemahan di sektor tenaga kerja yang ingin dilihat Fed Chairman Jerome Powell beserta pejabat2 The Fed lainnya sebagai persyaratan para pembuat kebijakan bisa mulai nyaman dengan pemikiran pemotongan suku bunga di tahun ini. Namun pada hari Jumat lalu NONFARM PAYROLLS muncul dengan kejutan yang membuyarkan segalanya, ketika mereka dirilis lebih kuat dari perkiraan, ditimpali dengan pertumbuhan Rata2 Upah per Jam di bulan May yang naik double. Walau UNEMPLOYMENT RATE (May) naik 0.1% ke posisi 4.0%, gabungan keseluruhan sentimen data ketenagakerjaan AS ini terbukti kembali menyurutkan peluang pemotongan suku bunga di bulan September menjadi ke bawah 50% (tinggal 46.6%) as per last Friday 8 June, dari 55.1% di hari sebelumnya, seperti disurvey oleh Fed Rate Monitor Tool milik Investing.com.

Seperti diketahui, narasi hawkish The Fed memang masih cenderung lebih kental, walaupun di tengah aksi bank sentral lain yang justru lebih berani laksanakan pemotongan suku bunga di pekan lalu, seperti sebut saja EUROPEAN CENTRAL BANK yang membawa turun suku bunga acuan mereka 25 bps ke level 4.25%, ditemani oleh bank sentral Canada, Denmark, Sweden, & Swiss National Bank. Apakah tindakan mereka dapat memotivasi Federal Reserve untuk mewujudkan pivot di tahun ini, sepenuhnya memang tergantung independensi Chairman Jerome Powell dkk dalam menilai kekuatan ekonomi AS. Pada pekan yang sama juga dirilis angka US PMI di mana kekuatan di sektor jasa yang kian ekspansif memberi dukungan pada sektor manufaktur yang masih rentan kontraksi. Alhasil untuk minggu lalu, S&P 500 menguat 1.32%, Nasdaq melonjak 2.38%, dan DJIA naik 0.29%.

Bicara mengenai PMI, belahan dunia lainnya pun turut melaporkan rapor mereka di sektor manufaktur dan jasa. Manufacturing PMI yang tertatih-tatih masih tampak di benua EROPA , di kala JERMAN & EUROZONE masih terbelenggu di wilayah kontraksi, sementara INGGRIS berusaha lebih mantap di area ekspansi. Pertumbuhan sektor jasa mereka terbukti lebih kuat karena yang lebih dulu merambah ke atas level 50. Jerman selaku negara dengan ekonomi nomor 1 di Eropa merilis GDP 1Q di angka 0.4% yoy sesuai ekspektasi, yang mana berlipat ganda dari posisi 0.2% di periode sebelumnya, dan 0.3% secara kuartalan (pun sesuai perkiraan), serta lebih tinggi dari pertumbuhan flat di kuartal sebelumnya. Kabar yang juga menggembirakan datang dari CHINA di mana Manufacturing & Services PMI (May) mereka menunjukkan tanda2 ekspansif. China juga melaporkan pertumbuhan Ekspor yang signifikan di bulan May ketika berhasil tumbuh 7.6%, lebih tinggi dari ekspektasi 6.0% dan malah paling tinggi dalam 12 bulan terakhir setelah melesat dari angka 1.5% di bulan sebelumnya. Di satu sisi, pertumbuhan Impor yang mengerdil ke angka 1.8% yoy, jauh lebih rendah dari prediksi 4.2% dan bulan sebelumnya 8.4% masih menyisakan kekuatiran apakah pergerakan bisnis di dalam negeri benar-benar mampu pulih atau tidak.

KOMODITAS: HARGA MINYAK tercatat melemah untuk minggu ketiga berturut-turut seiring para trader mengevaluasi keputusan OPEC+ yang akan mengurangi pemangkasan produksi sukarela secara bertahap mulai bulan Oktober, di tengah rilis data tenaga kerja AS yang ternyata semakin membuyarkan ekspektasi adanya pemotongan suku bunga oleh The Fed dalam waktu dekat. Apalagi ditambah US DOLLAR menguat 0.8% ke level tertinggi lebih dari seminggu tak lama setelah rilis laporan ketenagakerjaan tsb, semakin menyurutkan minat beli negara pembeli crude-oil yang non-AS. Dengan demikian, selama sepekan terakhir harga minyak mentah acuan BRENT anjlok 2.5% dan US WTI drop 1.9%.

This Week’s Ooutlook

FOMC MEETING 13 June : Para pelaku pasar akan fokus menyoroti keputusan Federal Reserve di pekan ini pada tanda-tanda penurunan suku bunga untuk sisa tahun 2024. Meskipun konsensus menunjukkan tidak ada perubahan suku bunga dalam FOMC Meeting 13 June, perhatian tertuju pada indikasi akan adanya 2 penurunan 25 basis poin tahun ini, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 3 kali. Peningkatan lapangan kerja dan pertumbuhan upah di bulan Mei telah meredam ekspektasi penurunan suku bunga yang agresif, di mana pasar saat ini mengantisipasi penurunan pertama yang mungkin terjadi di bulan September.

DATA INFLASI AS Bulan May, yang akan dirilis sebelum pernyataan the Fed, pastinya akan sangat mempengaruhi sentimen pasar terkait apakah hal ini dapat memperkuat (atau malah melemahkan) ekspektasi penurunan suku bunga. Sebaliknya, penurunan inflasi yang signifikan pun dapat memicu kembali kekhawatiran AS jatuh dalam resesi, yang berpotensi memicu volatilitas pasar menjelang konferensi pers Chairman The Fed Jerome Powell.

Para pelaku pasar global juga akan mengamati dengan seksama LAPORAN KETENAGAKERJAAN INGGRIS yang akan datang untuk mengukur tekanan upah dan kemungkinan penurunan suku bunga BANK OF ENGLAND. Baru-baru ini para ekonom perkirakan penurunan suku bunga di bulan Juni, namun tekanan inflasi yang terus-menerus telah mendorong ekspektasi hingga bulan November. Selain itu, data PDB INGGRIS bulan April diperkirakan akan mencerminkan pelemahan pertumbuhan setelah ekspansi kuartal pertama yang kuat sebesar 0.6%.

Gubernur BANK OF JAPAN (BOJ) Kazuo Ueda sepertinya isyaratkan akan mengurangi stimulus yang telah berlangsung beberapa dekade lamanya, sewaktu BOJ menutup rapat dua harinya di Jumat mendatang. Beliau telah mengatakan untuk mengurangi pembelian obligasi yang masif dan menekankan bahwa pembuat kebijakan akan berhati-hati dalam menaikkan suku bunga setelah kenaikan pertama sejak Maret 2007. Angka GDP JEPANG yang sedianya dirilis Senin pagi ini pastinya akan jadi input yang berharga dalam menentukan kebijakan BOJ ke depannya. Di negara tetangga Negeri Tirai Bambu, CHINA menyusul pengumuman CPI (May) di hari Rabu, di mana tingkat Inflasi mereka yang rentan deflasi (setidaknya masih terlihat di sektor PPI), mampu menguat ke level 0.4% yoy, dari 0.3% di periode sebelumnya.

INDONESIA yang masih berjuang di tengah gempuran Foreign Net Sell sebesar IDR 1.5 triliun di pekan lalu (menambah tebal jumlah jual bersih asing di angka IDR 7.68 triliun secara YTD) ; akan merilis data Keyakinan Konsumen & Retail Sales di pekan ini.

Download full report HERE.