Last week review:
Mengawali pekan pertama dari paruh kedua 2023, Indonesia merilis data Inflasi (Juni) yang semakin sukses melandai ke tingkat 3.52% yoy, lebih rendah dari konsensus & posisi 4% di bulan Mei lalu. Bahkan Inflasi Inti juga kembali terdeduksi ke angka 2.58% yoy, pun lebih rendah dari forecast & bulan sebelumnya di posisi 2.66%, aman di bawah batas ideal 3% yang ditetapkan Bank Indonesia (BI). Korea Selatan pun mengumumkan data Inflasi bulan Juni mereka yang juga bisa turun ke level 2.7% yoy, dari posisi terakhir bulan Mei di tingkat 3.3%. Pada penghujung pekan, Indonesia melaporkan angka Cadangan Devisa (Juni) tetap tinggi sebesar USD 137.5 milyar, meskipun menurun dibanding dengan posisi akhir Mei 2023 pada USD 139.3 milyar, yang disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah. Adapun nilai tukar Rupiah atas USD ditutup pada IDR 15,151/USD; IHSG langsung menikmati fenomena historis bulan Juli yang dikenal mempunyai volatilitas bull market tinggi dengan menorehkan kenaikan mingguan hampir 1% didukung oleh Foreign Net Buy (all market) sebesar IDR 593.83 milyar; menjumlahkan pundi-pundi pembelian asing di pasar saham Indonesia menjadi IDR 16.82 triliun secara YTD.
Dari AS, pada pekan perdagangan yang agak pendek karena terpotong hari libur kemerdekaan 4th of July, justru sarat dengan data-data ekonomi penting yang menentukan pandangan bank sentral mereka atas kebijakan moneter ke depannya. Di hari Kamis sempat memberi kejutan dari data ADP Nonfarm Employment Change (Juni) yang mencatatkan 497 ribu pertambahan pekerja baru di sektor swasta, jauh lebih tinggi dari perkiraan 228 ribu dan jelas di atas bulan sebelumnya 267 ribu. Hal ini cukup mengkhawatirkan para investor karena menunjukkan pasar tenaga kerja masih ketat dan bisa membuat The Fed semakin mempertahankan nada hawkish-nya, walau Initial Jobless Claims mingguan bertambah menjadi 249 ribu klaim pengangguran baru, dibanding bulan sebelumnya yang hanya 236 ribu. Data tersebut turut mendukung US Services PMI (Juni) yang kian ekspansif. Harapan terakhir ada pada laporan Nonfarm Payrolls (Juni) yang dipublikasikan hari Jumat, akhirnya bisa sedikit memberi kelegaan kepada pelaku pasar karena ternyata lebih rendah dari estimasi yaitu di angka 209 ribu (vs forecast 225 ribu & previous period 306 ribu), ini merupakan pertumbuhan terlambat dalam 2,5 tahun; walau pertambahan rata-rata Upah per jam (mingguan) tetap di tingkat 4.4%, tak bergeming dari bulan sebelumnya. Di satu sisi, Unemployment Rate (Juni) turun ke tingkat 3.6%, dari 3.7% posisi sebelumnya.
Bicara mengenai PMI, benua Eropa pun melaporkan data Manufacturing PMI mereka yang rata-rata masih berkutat di zona kontraksi, setidaknya Perancis dan Inggris sudah mulai menunjukkan sedikit pertumbuhan walau masih di bawah level benchmark 50. Sedangkan Jepang & China berusaha sekuat tenaga menjaga Services PMI (Juni) mereka di area ekspansif walau sepertinya mulai tergelincir dibanding bulan sebelumnya. Jelas bahwa gejala-gejala soft landing telah terjadi hampir merata di seluruh dunia.
This week’s outlook:
Pada pekan ini, dunia akan menyorot sederet laporan angka Inflasi (Juni) dimulai hari ini, dari China, di mana konsensus tidak berharap banyak bisa alami pertumbuhan lebih dari bulan sebelumnya di 0.2% yoy; bahkan PPI (Juni) juga diramal makin melemah ke tingkat -5% yoy (dari -4.6% bulan Mei. Keesokan harinya, disusul oleh German CPI yang diprediksi malah kembali memanas ke angka 6.4% yoy (dari 6.1% bulan Mei). Jerman juga akan merilis German ZEW Current Conditions & Economic Sentiment (Juli) di mana diperkirakan survey masih akan menunjukkan outlook ekonomi yang lemah untuk 6 bulan ke depan. Hari Rabunya, AS berharap akan bisa mengumumkan data CPI (Juni) mereka sesuai harapan di tingkat 3.1% yoy (merupakan pertumbuhan terlambat sejak Maret 2021), semakin melandai dari bulan Mei di 4%. Sedangkan Core CPI bulan Juni (terkecuali harga barang yang volatile seperti makanan & BBM), diharapkan untuk tumbuh 5% yoy, menjinak dari 5.3% di bulan Mei namun masih lebih dari double Target The Fed di 2%. Inflasi di tingkat produsen pun diprediksi mampu semakin menjinak ke level 0.4% yoy, dari 1.1% bulan Mei. Satu lagi yang jadi sorotan mungkin adalah Trade Balance (Juni) China, di mana para pelaku pasar akan memantau pertumbuhan Ekspor & Impor mereka sebagai salah satu acuan yang menentukan kepastian ramalan resesi global. Saat ini China kembali bergulat dengan perang dagang seputar sektor hi-tech dengan AS sementara mereka masih harus memperbaiki laju roda perekonomiannya. Setelah berbulan-bulan negara AS & sekutu mengetatkan larangan impor chip buatan China kemudian mengetatkan akses perusahaan China ke jasa layanan cloud, baru-baru ini China melakukan serangan balasan dengan memutus ekspor metal penting bagi pembuatan chip.
Musim laporan keuangan kuartal 2/2023 akan segera dimulai, di mana para investor global juga akan memantau laporan keuangan bank besar AS setelah hasil stress test tahunan yang cukup melegakan, di mana Federal Reserve bisa menyimpulkan bahwa sejumlah bank dengan posisi pemberi pinjaman terbesar punya cukup modal untuk bertahan manakala situasi ekonomi berbalik memburuk.
Dari sudut komoditas, pada hari Jumat harga minyak ditutup di harga tertinggi 9 minggu di mana Brent & US WTI berhasil membukukan lonjakan 5% sepekan lalu, didukung oleh masalah persediaan dan keperluan pembelian teknis; di mana untuk sementara ini berhasil menutupi kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga lanjutan akan semakin memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global dan oleh karenanya mengurangi permintaan akan minyak mentah. Adapun OPEC+ telah mengumumkan pemangkasan produksi sekitar 5 juta barrel/hari, atau setara dengan 5% kebutuhan minyak global. Harga minyak juga didukung oleh pelemahan dolar, yang mencapai level terendah dua minggu setelah laporan ketenagakerjaan AS yang kuat mendukung ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed lebih lanjut. Posisi US Dollar yang lebih lemah membuat minyak mentah lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, yang diharapkan dapat meningkatkan permintaan minyak.
Download full report HERE.