Last week review:

S&P 500 sudah merosot 10% lebih dari puncaknya di bulan Juli pada level 4,588.96 hingga ditutup di wilayah koreksi karena sektor Teknologi kehilangan sentimen positif meskipun ada terjadi reli pada saham Amazon dan Intel berkaitan dengan musim laporan keuangan kuartal 3. Berikut adalah rekap mingguan kinerja 3Q23 pada perusahaan terbesar di bidang Teknologi selama sepekan terakhir: Laba Microsoft, Meta, dan Amazon lebih kuat di atas perkiraan – namun Amazon mengkhawatirkan perkiraan ke depannya, di sisi lain Intel punya proyeksi yang lebih cerah; sementara itu Alphabet meleset dari ekspektasi. Para analis kini memperkirakan pertumbuhan pendapatan S&P 500 secara year-on-year berada di angka 2.6% (lebih tinggi dari perkiraan awal 1.6%), sebagaimana dilaporkan oleh LSEG.

Suasana risk-off (menghindari aset berisiko) masih mendominasi pasar karena investor khawatir terhadap prospek kenaikan suku bunga lebih lanjut dan meluasnya konflik Israel-Hamas. Adapun rilis data ekonomi AS yang bagus tidak ditanggapi dengan tangan terbuka, malah lebih mengkhawatirkan bahwa Federal Reserve harus menahan suku bunga tinggi lebih lama lagi. Yield US Treasury tenor 10 tahun sempat kembali naik mendekati level psikologis 5.0% bahkan setelah investor terkenal Bill Ackman mengumumkan bahwa ia akan mulai menutup posisi short (artinya beli) pada harga obligasi dengan alasan “terlalu banyak risiko yang beredar di pasar saat ini”. Namun demikian kenyataannya, S&P Global Composite PMI (Okt.) di mana baik sektor Manufacture maupun Services akhirnya sukses menyebrang ke wilayah ekspansif (di atas angka 50), setelah 5 bulan terbenam di wilayah kontraksi. Data penjualan rumah baru atau US New Home Sales ternyata lebih kuat dari perkiraan; dan tingkat suku bunga hipotek mencapai level tertinggi dalam 23 tahun. Yang paling besar pengaruhnya adalah US GDP kuartal 3 malah tumbuh 4,9% qoq (3.5% yoy, melampaui ekspektasi 2.5%), merupakan angka tertinggi dalam hampir 2 tahun terakhir. Ditambah lagi, Durable Goods Orders (Sept.) mengalami peningkatan signifikan 4.7% mom, dibanding prediksi 1.7% dan kondisi minus 0.1% pada bulan sebelumnya. Pending Home Sales pun menunjukkan pertumbuhan masif, dari -7.1% pada bulan Agustus menjadi positif 1.1% di bulan September. To put the cherry on top, PCE Price index yang menjadi acuan favorit The Fed dalam menentukan trend Inflasi ke depannya, menguat 0.4% mom di bulan September, lebih tinggi dari proyeksi 0.3%; walau secara tahunan tampak stagnan di angka 3.4% yoy. Rakyat AS memperlihatkan pola belanja yang masih kencang di mana Personal Spending terbukti naik 0.75% yoy di bulan September, ketimbang 0.4% pada bulan Agustus. Para analis meyakini bahwa AS telah berhasil mencapai soft landing, dan besar kemungkinan tingginya US Treasury yield yang terjadi akhir-akhir ini akan mampu menggantikan keperluan menaikkan suku bunga lebih lanjut.

MARKET EROPA: Inggris melaporkan sejumlah tanda-tanda perlambatan ekonomi yang lebih nyata serta dalam kaitannya dengan prospek tingkat Inflasi mereka, seperti: Claimant Count Change (Sept.) yang menjelaskan tingkat pengangguran di sana meningkat signifikan hampir 10x di atas estimasi. Labour Productivity pada kuartal 2 tahun ini juga drop lebih rendah dari perkiraan. Revisi S&P Global UK Composite PMI mereka pun masih struggling di area kontraksi, baik sektor Manufacture maupun Services. Hasil PMI yang masih bergumul di wilayah kontraksi ini juga sama terjadi di Jerman dan Eurozone. Walau demikian, Jerman publikasikan pandangan iklim usaha yang semakin optimis di bulan Oktober, tergambar dari German Ifo Business Climate Index yang bergerak ekspansif di angka 86.9, lebih tinggi dari estimasi & bulan sebelumnya. Perlambatan ekonomi di benua Eropa ini membuat European Central Bank mengumumkan keputusan menahan suku bunga acuan tetap di level 4.5%, suatu langkah pengereman pertama setelah 10x ECB naikkan suku bunga sejak Juli 2022 lalu.

MARKET ASIA: Situasi PMI yang lesu juga terasa di Jepang, di mana data au Jibun Bank Japan Manufacturing PMI (Okt.) tak juga bergeming dari wilayah kontraksi, dan Services sector mulai kehilangan pegangan di wilayah ekspansi. Ancaman Inflasi di Jepang masih nyata dengan BoJ Core CPI dilaporkan meningkat menjadi 3.4% yoy, sedikit di atas proyeksi 3.3%. Di sisi lain, perkembangan situasi global saat ini pun turut membuat Korea Selatan memandang pesimis outlook ekonomi ke depannya, di mana tergambar pada tingkat Keyakinan Konsumen (Okt.) melemah ke angka 98.1, (dari 99.7 pada bulan September), walau sejatinya mereka laporkan GDP kuartal 3/2023 yang lebih kuat dari perkiraan di angka 1.4% yoy. Bagaimana dengan INDONESIA? Indonesia melaporkan peningkatan uang beredar yang terbilang wajar apalagi menjelang musim kampanye PEMILU setelah lengkapnya deklarasi tiga paslon yang mengincar kursi presiden di tahun 2024. Pemerintah berusaha menggairahkan sektor Properti di mana Presiden Jokowi mengumumkan insentif PPN Properti untuk rumah di bawah IDR 2 miliar, dan rumah sederhana dalam rentang harga IDR 200-300 jutaan. Namun begitu, segala sentimen di atas tidak mampu menahan anjloknya IHSG ke level terendah 3 bulan pada titik Low 6,705.23, terlebih karena nilai tukar Rupiah yang tak kunjung menguat bahkan setelah RDG BI menaikkan BI7DRR secara tak terduga 25 bps ke level 6.0%. Posisi Rupiah yang mendekati IDR 16,000/USD dan yield obligasi negara 10 tahun menembus level psikologis 7.0% tak bisa dipungkiri membuat nervous para pelaku pasar.

KOMODITAS: MINYAK mengakhiri salah satu minggu paling volatile tahun ini dengan penurunan sebesar 3 persenan karena para trader/spekulan beralih dari satu berita ke berita lainnya mengenai KONFLIK TIMUR TENGAH di mana pihakpihak yang bertikai, Israel dan Hamas, belum bisa mencapai solusi perdamaian meskipun ada mediasi yang intens dari Amerika Serikat dan negara-negara lain. Minyak mentah WTI (New York) ditutup pada harga USD 85.54/barrel, mengakhiri minggu lalu dengan penurunan 3.6%. Sementara Minyak mentah Brent (London) untuk kontrak paling aktif bulan Desember ditutup pada harga USD 90.48, turun hampir 2% pada pekan lalu. Dari sisi lain, terjadi lonjakan baru terhadap aset safe-haven seperti US Dollar, obligasi AS, dan Emas – yang mencapai angka USD 2,000 per ounce pada perdagangan hari Jumat setelah diperkirakan akan segera terjadi serangan darat skala besar Israel ke wilayah Gaza.

This week’s outlook:

Ini akan menjadi minggu yang sangat sibuk bagi para investor, di mana rapat Federal Reserve, laporan tenaga kerja AS terbaru, dan pendapatan dari perusahaan teknologi terkemuka Apple akan dapat menentukan arah pasar saham dan obligasi di sisa tahun ini. Para pelaku pasar akan memusatkan perhatian mereka pada FOMC Meeting hari Rabu, demi mendengar pandangan para pembuat kebijakan mengenai keadaan perekonomian dan prospek suku bunga. Seperti diketahui sebagian besar investor bertaruh bahwa ada 98% peluang The Fed akan mengerem laju naik suku bunga (berdasarkan Fed Rate Monitor Tool milik Investing.com), setelah Federal Reserve Chairman Jerome Powell mengatakan bahwa kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang mengurangi perlunya kenaikan suku bunga lebih lanjut, meskipun beberapa orang percaya kenaikan suku bunga lainnya dapat terjadi pada FOMC Meeting bulan Desember.

Data tenaga kerja penting minggu ini adalah laporan US Nonfarm Payrolls bulan Oktober yang akan dirilis pada hari Jumat. Setelah penambahan 336,000 lapangan pekerjaan pada bulan September, para ekonom memperkirakan adanya pertumbuhan lapangan kerja yang lebih moderat sebesar 182,000, di mana angka tersebut masih konsisten dengan pasar tenaga kerja yang kuat. Tingkat Pengangguran diperkirakan akan tetap sebesar 3.8%, sementara pertumbuhan Upah diperkirakan akan turun menjadi 4% yoy, di mana ini menandai angka terendah pasca-pandemi. Hal ini dapat membantu memperkuat pandangan The Fed bahwa tekanan Inflasi sudah berkurang dan tidak perlu lagi menaikkan suku bunga. Namun sebelum itu, pelaku pasar akan melihat data biaya tenaga kerja kuartal 3/2023 pada hari Selasa untuk mencari tanda-tanda bahwa pertumbuhan upah memang tengah melunak.

EROPA: Bank of England akan mengadakan pertemuan kedua terakhir tahun ini pada hari Kamis, di mana para pejabat perlu memutuskan apakah akan melanjutkan kenaikan suku bunga, setelah mempertahankannya pada bulan September lalu setelah 14x kenaikan berturut-turut. Investor memperkirakan BoE akan mempertahankan suku bunga pada level tertinggi selama 15 tahun di angka 5.25%, namun tetap membuka kemungkinan adanya kenaikan lebih lanjut (jika diperlukan). Para pengambil kebijakan diperkirakan akan menegaskan kembali bahwa suku bunga harus tetap berada pada level saat ini untuk beberapa waktu ke depan meskipun ada tanda-tanda bahwa perekonomian sedang lesu. BoE pun akan memperbarui perkiraan triwulanannya yang pada bulan Agustus menunjukkan  pertumbuhan ekonomi diproyeksi hanya 0.5% pada tahun 2023 dan 2024. Gubernur Andrew Bailey awal bulan ini berbicara tentang prospek ekonomi yang “sangat lemah”.

European Central Bank (ECB) akan menantikan data Inflasi dan PDB pada hari Selasa menjelang pertemuan terakhirnya tahun ini. Data awal mengenai Inflasi Harga Konsumen-nya diperkirakan melambat menjadi 3.2% pada bulan Oktober, mendekati target ECB sebesar 2%, meskipun biaya energi yang tinggi terus menimbulkan risiko kenaikan. Data PDB pada hari yang sama diperkirakan menunjukkan bahwa perekonomian Zona Euro mengalami kontraksi sebesar 0.1% pada kuartal 3/2023, dengan tingkat pertumbuhan tahunan hanya sebesar 0.2%. Adapun pada hari Kamis lalu, Presiden ECB Christine Lagarde telah mengisyaratkan kebijakan moneter yang stabil di masa depan dan sepertinya belum bisa memenuhi ekspektasi akan penurunan suku bunga.

Dari benua ASIA, China akan merilis angka Manufacturing PMI di bulan Oktober yang sedianya mampu stay di area ekspansif. Setali tiga uang, Indonesia akan memantau data Nikkei Manufacturing PMI (Okt.) kemudian disusul angka Inflasi (Okt.) yang diperkirakan akan kembali memanas ke level 2.6% yoy dari 2.28% di bulan September, sementara Core Inflation diproyeksi tetap pada angka 2.0% yoy.

Download full report HERE.