Latar Belakang

Keputusan pemerintah memindahkan Ibu Kota Republik Indonesia, dari Provinsi Jakarta ke Kalimantan Timur, setidaknya memiliki dua persiapan utama, yaitu: merevisi Undang-Undang (UU) mendukung rencana tersebut, dan mengalokasikan anggaran. Persiapan tersebut dilakukan, pasca Presiden Joko Widodo mengumumkan sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara, dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, adalah Ibu Kota yang paling ideal, karena memiliki risiko bencana yang minimal, lokasi strategis berada di tengah Indonesia, dekat dengan wilayah yang sudah berkembang seperti Balikpapan, dan Samarinda, serta memiliki infrastruktur yang relatif lengkap.

Wacana pemindahan Ibu Kota merupakan isu lama, sejak pemerintahan Soekarno tahun 1957 yang memilih Kota Palangkaraya. Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut dipilih, karena Soekarno menilai lokasinya tepat berada ditengah Indonesia. Kemudian Presiden Soeharto tahun 1997, menyiapkan lahan seluas 30 Ha daerah Jonggol, Jawa Barat. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009, telah membentuk tim walaupun belum menentukan lokasinya.

Kajian Bappenas

Selama tiga tahun terakhir, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyiapkan kajian pemindahan Ibu Kota. Pertama. Jakarta menjadi kota terburuk keempat didunia, berdasarkan kondisi lalu lintas saat jam sibuk. Survei yang dilakukan disebanyak 390 kota, membuat Jakarta sebagai peringkat kesembilan kota dengan kepuasan pengemudi, dan tingkat kemacetan terburuk. Tingkat kemacetan tinggi, mengakibatkan komunikasi dan koordinasi antar kementerian/ lembaga menjadi kurang efektif.

Kedua. Selain banjir di hulu, Kota Jakarta juga mencatatkan adanya penurunan muka tanah, dan kenaikan permukaan air laut di Pantai Utara Jakarta. Sehingga, setengah wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir, atau memiliki tingkat kerawanan banjir dibawah 10 tahun, atau jauh dari standar ideal kerawanan banjir kota besar minimal selama 50 tahun. Hal ini ditambah dengan kualitas air sungai Jakarta, yang 96% tercemar berat, menimbulkan bahaya signifikan untuk human pandemic, sebagai akibat dari sanitasi yang buruk.

Bappenas memproyeksikan kerugian ekonomi mencapai nilai IDR 56 Triliun pada tahun 2013, dan diproyeksikan mendekati nilai IDR 100 Triliun per tahun saat ini, seiring dengan makin tingginya kemacetan wilayah Jakarta. Sehingga, Bappenas menawarkan konsep Ibu Kota baru yang memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Konsep best practice yang mengikuti negara lain, namun tetap mempertahankan Jakarta sebagai pusat bisnis.


Revisi Sembilan Undang-Undang

Pemerintah setidaknya harus merevisi sembilan Undang-Undang (UU), seiring pemindahan ibu kota memerlukan kepastian hukum dan konsistensi kebijakan. Pihak swasta baru akan masuk dalam areal pengembangan ibu kota baru jika ada kepastian hukum dan permudahan perizinan.

Mengacu pada kajian Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada lima UU yang perlu direvisi, yaitu: Pertama, UU No.29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI; Kedua, UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana; Ketiga, UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara; Keempat, UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah; dan Kelima, UU No.10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Sementara itu, dua UU yang bisa direvisi atau dibuat baru adalah UU tentang Penataan Ruang Ibu Kota Negara dan UU tentang Penataan Pertanahan Ibu Kota Negara. Sisanya, UU yang benar-benar harus dimulai sejak awal adalah UU tentang nama daerah yang dipilih sebagai Ibu Kota Negara dan UU tentang kota.

Dana Senilai IDR 466 Triliun

Selain memperhitungkan antara barat ke timur, maupun utara ke selatan, penetapan Ibu Kota baru di Provinsi Kalimantan Timur akan merepresentasikan keadilan bagi percepatan pembangunan ekonomi, khususnya kawasan timur Indonesia. Penetapan ini, juga mempertimbangkan kesiapan Kalimantan Timur yang memiliki lahan luas dan tersedia milik pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah tersedia. Lahan tersebut, dapat dibangun sehingga tidak memerlukan lagi biaya pembebasan.

Disisi lain, pemindahan ibu kota tetap tetap memerlukan biaya besar, mulai dari pemindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang semula dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Bappenas memproyeksikan, pemerintah membutuhkan biaya senilai antara IDR 323 Triliun hingga IDR 466 Triliun, dengan memperhitungkan dua skenario. Pertama. Pemerintah tidak melakukan resizing PNS, artinya seluruh PNS pemerintah pusat akan pindah. Berdasarkan data tahun 2017, ibu kota baru akan berisi 1,5 juta penduduk, termasuk anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, Polisi Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), beserta anggota keluarganya. Skenario ini diproyeksikan membutuhkan dana senilai IDR 466 Triliun.

Kedua. Pemerintah melakukan resizing jumlah PNS, atau hanya memindahkan sekitar 111 ribu personil, ditambah anggota TNI, dan Polri beserta keluarga. Melalui skenario ini, diproyeksikan populasi pemindahan PNS dibawah 1 juta, atau tepatnya hanya sekitar 870 ribu penduduk. Skenario ini memerlukan biaya lebih kecil, atau sekitar IDR 323 Triliun.

Dominasi Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha

Sumber pembiayaan pemindahan ibu kota ini, dapat berasal dari empat sumber, yaitu: Pertama. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) khususnya untuk initial infrastructure, serta fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen. Dua. BUMN untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Tiga. Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk beberapa unsur utama juga fasilitas sosial. Empat. Sumber pembiayaan dari sektor swasta, khususnya yang terkait dengan properti perumahan dan fasilitas komersial.

Selain itu, untuk melancarkan rencana pemindahan, pemerintah perlu membentuk badan otorita yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan otorita ini akan mengelola dana investasi pembangunan ibu kota baru serta melakukan kerjasama, baik dengan BUMN dan swasta. Badan otorita ini juga harus melakukan persiapan dan pembangunan, mulai dari penyusunan struktur pola tata ruang, pembangunan infrastruktur dan gedung fasilitas pemerintahan, kemudian mengendalikan proses pembangunan sarana prasarana, serta mengelola dan memelihara gedung dan fasilitas publik.

Comment

Pemindahan Ibu Kota menjadi rasional pasca posisi Jakarta yang terlalu sentris, yaitu sebagai pusat pemerintahan, bisnis, dan budaya, membuat kapasitas Jakarta menjadi tidak memadai. Jakarta harus menghadapi tantangan seperti kemacetan, banjir, hingga potensi bencana lingkungan. Dari sisi ekonomi, pembangunan ekonomi di Indonesia terlalu fokus di pulau Jawa, menimbulkan selisih antara Indonesia bagian barat dan timur. Kontribusi terbesar ekonomi Indonesia masih didominasi pulau Jawa yaitu sebesar 59,1% per 2Q19. Kemudian diikuti oleh Sumatera 21,3%; Kalimantan 8,0%; Sulawesi 6,3%; Maluku dan Papua 2,2%; serta Bali dan Nusa Tenggara 3,1%.

Adapun penerbitan obligasi pemerintah daerah (municipal bond), sebagai salah satu alternative pembiayaan proyek infrastruktur, dan layanan public Kalimantan Timur, harus memenuhi syarat dan prosedur ketat yang terlampir dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.56/2018; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.61/2019; No.62/2019; No.63/2019; serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.180/2019. Beleid tersebut mensyaratkan: Pertama, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak boleh melebihi 75% penerimaan Anggaran Penerimaan Belanja Daerah (APBN) tahun sebelumnya.

Kedua, rasio kemampuan mengembalikan pinjaman (debt to service coverage ratio/ DSCR) minimal sebesar 2,5%. Ketiga, pemda tidak boleh memiliki tunggakan atas pengembalian pinjaman dari pemerintah pusat. Keempat, municipal bond harus digunakan untuk membiayai infrastruktur atau investasi pembangunan sarana prasarana untuk kepentingan publik. Kelima, municipal bond hanya dapat diterbitkan di pasar domestik dan menggunakan mata uang rupiah. Selain Jawa Tengah, hingga saat ini OJK mencatat DKI Jakarta, dan Jawa Timur berminat menerbitkan municipal bond.

Di sisi lain, pemindahan ibu kota ini menjadi sentimen positif sejumlah emiten, yang bergerak di sektor konstruksi, properti, maupun infrastruktur, yang sebagian sudah memiliki proyek di kawasan tersebut. Hampir seluruh emiten BUMN, memiliki rencana ekspansi di Kalimantan Timur tersebut. Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) akan membangun pabrik beton seluas 11,6 Ha dengan kapasitas produksi 250.000 per tahun. Sementara itu, anak usaha Wijaya Karya Tbk (WIKA), Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) juga akan terlibat dalam proyek tersebut.

WIKA memiliki sejumlah proyek di Kalimantan Timur seperti Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 2×50/60, Bandar Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, dan Jembatan Tumbang Samba. WIKA dan PTPP juga memiliki saham dalam proyek jalan tol Balikpapan-Samarinda yang dikerjakan oleh Jasa Marga Tbk (JSMR) dengan kepemilikan masing-masing sebesar 15%. Sementara, Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) memiliki pabrik seluas 11,6 Ha, dengan kapasitas produksi 250.000 ton per tahun.

Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) memiliki lahan di Semboja, terletak 47 Km ke arah Balikpapan, dan 87 Km ke arah Samarinda. Sementara, Ciputra Development Tbk (CTRA) memiliki landbank lebih banyak di Samarinda yaitu seluas 590 Ha, dan Balikpapan seluas 30 Ha. Dalam landbank tersebut, CTRA memiliki proyek Ciputra Bukit Indah dan Citra City Balikpapan masing-masing di Balikpapan. Dalam jangka pendek, pemilik land bank akan mendapat efek positif. Sementara, jangka panjang, ibu kota negara juga memerlukan kota penyangga. Dalam hal ini akan positif bagi CTRA dan BSDE.

Astra Internasional Tbk (ASII) juga memiliki aset berupa pelabuhan yang dikelola oleh Pelabuhan Penajam Banua Taka atau disebut Astra Infra Port Eastkal. Pelabuhan ini memiliki fasilitas pergudangan, lahan terbuka, bengkel dan assembly, serta mampu menampung kapal hingga 10.000 DWT. Pelabuhan ini juga merupakan shore base industri minyak dan gas, industri pertambangan, dan aktivitas bisnis grup Astra.

Sementara itu, selain memiliki mal, hotel dengan aset senilai IDR 6,7 Miliar, PP Properti Tbk (PPRO) juga mendapat tawaran dari pemilik lahan di sekitar Penajam seluas 500 Ha. Dari sisi infrastruktur, Jasa Marga Tbk (JSMR) memiliki jalan tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 99,35 Km. Sementara, Wijaya Karya Beton Tbk (WTON) memiliki pabrik seluas 26 Ha.

 

Download laporan lengkapnya di SINI