Last week review:

China kembali merilis data pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan setelah pada minggu sebelumnya mereka mengungkap tekanan deflasi yang semakin memuncak, secara PPI (Juni) mereka mencatatkan penurunan paling tajam sejak 2015 dipicu oleh permintaan domestik dan asing yang sama-sama melemah; serta CPI (Juni) yang juga masih flat di 0% YoY merupakan pertumbuhan paling lambat sejak 2021. Adapun data ekonomi China terbaru menunjukkan pertumbuhan GDP pada kuartal 2 2023 sebesar 0,8%, memang di atas perkiraan 0.5%, tetapi laju tahunan pada 6.3% meleset di bawah ekspektasi 7.3%. Dari awal tahun, GDP China telah bertumbuh sebesar 5.5% YoY dalam dua kuartal yang telah berjalan ini; dan sepertinya mereka hanya akan menetapkan Target yang cukup moderat di sekitar 5% sampai akhir tahun. Para analis menilai ledakan ekonomi pasca-COVID telah berakhir dan situasi ekonomi China telah kehilangan momentumnya. Para pelaku pasar menunggu implementasi langkah-langkah stimulus dan kebijakan moneter longgar alias pemotongan suku bunga acuan China lebih lanjut untuk lebih menggairahkan roda perekonomiannya. Terakhir China menetapkan suku bunga acuan mereka ditahan tetap di level 3.55%.

Perusahaan AS mulai melaporkan kinerja 2Q23, yang diperkirakan turun 8.1% (menurut data Refinitiv), turun lebih jauh dari penurunan 5.7% yang diperkirakan pada awal bulan. Saham-saham bank AS melanjutkan rally mereka dan berhasil menopang Dow Jones naik 2.1% pada pekan lalu; sementara S&P500 bertambah 0,7%, dan Nasdaq turun 0,6%. Sentimen positif ini berhasil mengimbangi laporan US Retail Sales (Juni) yang dirilis di bawah ekspektasi, malah Industrial Production (Juni) malah mencatatkan pertumbuhan negatif. Sektor properti AS pun tidak banyak membantu di mana data US Building Permits dan Housing Starts di bulan Juni seluruhnya menunjukkan penurunan. US Initial Jobless Claims pada pekan lalu secara tidak terduga drop menyentuh level terendah dalam 2 bulan.

Kabar yang lebih baik datang dari benua Eropa di mana Inggris dan Euro Zone berhasil melaporkan pertumbuhan Inflasi yang semakin terkendali di bulan Juni. Retail Sales di Inggris untuk bulan Juni dan Indeks Keyakinan Konsumen di Euro Zone untuk bulan Juli menunjukkan perbaikan dengan melambatnya penurunan. Hal-hal seperti ini sedikit banyak membuat pelaku pasar merasa bahwa dunia mungkin akan mampu terhindar dari resesi pada tahun ini.

Indonesia melaporkan surplus Trade Balance (Juni) yang melonjak di luar dugaan ke angka USD3.46 miliar, more than double dari estimasi, dan jauh lebih tinggi dari bulan Mei yang hanya USD 440juta; terbantu oleh posisi Impor yang turun lebih besar dibanding Ekspor secara bulanan; padahal secara tahunan sejatinya Ekspor & Impor bulan Juni 2023 keduanya anjlok masing-masing -21.18% YoY dan -18.35% YoY. Indonesia juga laporkan Foreign Direct Investment (FDI) 2Q23 yang terdata tumbuh 14.2% YoY, lebih rendah dari kuartal sebelumnya di 20.2%.

This week’s outlook:

Minggu ini akan didominasi oleh sejumlah rapat bank sentral, di mana Federal Rserve dan European Central Bank diperkirakan akan menaikkan suku bunga AS & Zona Eropa masing-masing 25 bps; sementara Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Bank of Japan akan tetap pertahankan tingkat suku bunga acuan mereka masing-masing di level 5.75% dan -0.1%. Terkait suku bunga AS, beberapa investor punya pandangan apakah ini akan merupakan kenaikan terakhir dari sejak Federal Reserve manaikkan Fed Fund Rate sebanyak 500 bps sejak Maret 2022, awal dari kebijakan moneter ketat dalam 40 tahun terakhir demi memerangi inflasi. Para pelaku pasar juga akan menyoroti rencana ECB dan komentar ECB President Christine Lagarda untuk bulan September nanti mengenai apakah yang akan terjadi adalah kenaikan suku bunga lagi, atau adnya kesempatan untuk sebuah pause. Inflasi di Zona Eruo telah mendingin sejak menyentuh titik tertinggi 10.6% pada bulan Desember namun masih di atas Target 2% dari ECB. ECB sendiri telah memulai jalur pendakian suku bunga ini sejak July 2022 sebesar 400 bps.

Sementara itu, Bank of Japan akan menentukan tingkat suk bunga mereka hari Jumat di tengah spekulasi apakah para pembuat kebijakan di sana akan mampu menyesuaikan kebijakan moneter ekstra longgar secara tekanan inflasi mulai terasa. Data di hari Jumat lalu menyatakan bahwa Inflasi Inti Jepang untuk bulan Juni masih tetap di atas Target bank sentral sebesar 2%, untuk 15 bulan berturut-turut namun tekanan harga ini diperkirakan telah mencapai puncaknya.

Para investor patut menilai ulang apakah masih ada sentimen positif untuk mendukung rally saham. Para analis memperkirakan hanya tersedia limited upside potential bagi saham-saham AS yang valuasinya saat ini sudah tinggi; bahkan S&P500 kini diperdagangkan pada posisi P/E forward 19.7x. US Consumer Confidence (Juli) sepertinya akan pegang peranan secara tingkatnya diharapkan naik ke angka 113 dari 109.7 bulan sebelumnya yang dapat menunjukkan meningkatnya optimisme pasar. Building Permits, Pending Home Sales, serta New Home Sales (Juni) akan memberi petunjuk bagaimana kesehatan sektor properti AS lebih lanjut. US Core Durable Goods Orders (Juni) serta Initial Jobless Claims pada hari Kamis, serta Core PCE Price Index (juni) yang merupakan data-data terakhir pekan ini untuk membimbing arah kebijakan moneter AS ke depannya.

Harga minyak mentah dunia naik hampir 2% pada Jumat lalu, menutup minggu kemenangan untuk 4x berturut-turut; terbantu oleh adanya potensi turunnya peersediaan di bulan-bulan mendatang akibat rencana pemangkasan produksi oleh OPEC+; serta meningkatnya ketegangan antara Russia & Ukraine juga akan turut serta mengganggu jaminan supply.

Download full report HERE.